Resensi Buku #part1
Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Quran
Siapapun Anda, Anda adalah Penghafal Al-Quran
Penulis: D. M. Makhyaruddin (Juara 1 Tahfidz dan Tafsir Al-Quran 30 Juz Musabaqah Internasional)
By: Rumaisha Azlam
“Sesungguhnya
menghafal Al-Quran itu tidak membutuhkan metode, tetapi yang dibutuhkan dalam
menghafal Al-Quran hanyalah niat, mujahadah, dan istiqamah.”
Begitulah
sapaan dari penulis yang menggetarkan hati. Kalimat tersebut membuka cakrawala,
bahwa sesungguhnya ada hal lain yang lebih penting dibandingkan sebuah metode
menghafal Al-Quran. Hal-hal tersebutlah seharusnya yang pertama dimiliki oleh
seorang penghafal Al-Quran. Bukan sebuah metode mudah/cepat menghafal Al-Quran,
melainkan sebuah niat yang kuat, mujahadah yang tak kenal lelah, dan
keistiqamahan sepanjang hayat. Ketiga hal tersebut adalah kunci untuk
menjadikan seseorang hafal dan mampu menjaga hafalan hingga ajal menjemput.
Pada halaman-halaman
awal buku di bagian “Pengantar Pakar Tahfidz”, Hj. Isti’anah Muay (Ibunda
penulis, Hafidzah Senior Indonesia, Pendiri PPTQ Al-Mustaqimiyyah, Sadeng,
Bogor) memaparkan beberapa konsep penting dalam menghafal Al-Quran, yang dapat
penulis resensi simpulkan. Tiga diantaranya adalah,
@ Banyak orang yang berkeinginan untuk menghafal Al-Quran, namun tak semuanya mau tergerak tuk menghafalkannya. Maka, jadilah orang yang berkeinginan kemudian merealisasikan keinginan tersebut.
@ Menghafal Al-Quran itu tidak terhenti pada aktivitas menghafalkan ayat demi ayat Al-Quran. Ketika seseorang memutuskan untuk menghafal Al-Quran, maka secara otomatis harus berlatih disiplin, ikhlas, sabar, dan amanah. Sebab tak sekadar untuk khatam, namun berusaha setia hidup bersama Al-Quran. Sehingga menghafal, murajaah, dan menjaga kualitas keimanan serta ketaqwaan adalah satu paket tak terpisahkan.
@Wisuda hafidz yang sesungguhnya adalah ketika manusia dikumpulkan di Mahsyar, bukan di dunia.
@ Banyak orang yang berkeinginan untuk menghafal Al-Quran, namun tak semuanya mau tergerak tuk menghafalkannya. Maka, jadilah orang yang berkeinginan kemudian merealisasikan keinginan tersebut.
@ Menghafal Al-Quran itu tidak terhenti pada aktivitas menghafalkan ayat demi ayat Al-Quran. Ketika seseorang memutuskan untuk menghafal Al-Quran, maka secara otomatis harus berlatih disiplin, ikhlas, sabar, dan amanah. Sebab tak sekadar untuk khatam, namun berusaha setia hidup bersama Al-Quran. Sehingga menghafal, murajaah, dan menjaga kualitas keimanan serta ketaqwaan adalah satu paket tak terpisahkan.
@Wisuda hafidz yang sesungguhnya adalah ketika manusia dikumpulkan di Mahsyar, bukan di dunia.
Kemudian pada
bagian “Pengantar Penulis” penulis memaparkan beberapa hal penting. Bahwa
ternyata memburu cara mudah dan cepat menghafal Al-Quran terkadang membuat
penghafal Al-Quran tidak menikmati aktivitas menghafal itu sendiri. Padahal,
berdasarkan pengalaman penulis buku ini yang menghafalkan Al-Quran dalam dua
bulan (dengan hafalan yang berkualitas) rasa nikmat adalah kunci mudah dan
cepatnya menghafal Al-Quran. Jika merujuk berbagai metode ulama terdahulu
mengenai cara-cara menghafal Al-Quran, tidak ada satupun metode yang tujuannya
untuk membuat cepat hafal. Namun metode-metode tersebut dibuat agar hafalan
menjadi kuat dalam ingatan. Cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam
menghafal Al-Quran tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah menikmati
prosesnya, tak lupa terhadap hafalannya, dan sebisa mungkin mengamalkan
kandungannya.
Sebelum
beranjak ke materi utama, penulis menyisipkan sebuah catatan inspiratif “Dua
Bulan di Pangkuan Al-Quran” yang merupakan kisah dari pengalaman pribadi beliau
dalam menghafal Al-Quran. Berikut akan penulis resensi paparkan lika-liku
Beliau dalam menghafal Al-Quran.
Allah SWT
sudah menjanjikan kemudahan dalam menghafal Al-Quran. Kemudahan tersebut
menjadi sebuah ujian keikhlasan bagi para penghafalnya. Setan begitu cerdik
dalam menggoda manusia. Di tengah-tengah ujian keikhlasan tersebut, setan terus
menarik-narik nafsu manusia agar tak mampu lagi bersabar dalam menghafal
Al-Quran. Kondisi ini adalah kondisi yang cukup sulit, sebab bisa jadi lembaga
tahfidz, bermacam metode, buku, dll. tidak dapat menolong lagi. Oleh karena itu
alangkah lebih baiknya jika kita tidak bergantung pada lembaga tahfidz atau
metode dan tips. Bergantunglah pada Al-Quran. Sebab Al-Quran itu adalah
lembaga, sekaligus metode dan tips.
Pengalaman
penulis buku memang cukup menarik dalam menghafalkan Al-Quran. Beliau belajar
Al-Quran dari paman beliau yang bernama H. Achmad Basyir Fachmi, seorang hafidz
Al-Quran yang mahir Qira’at. Paman beliau sering kali memotivasi dengan
menceritakan tokoh-tokoh penghafal Al-Quran yang mampu menghafal Al-Quran dalam
waktu yang singkat dengan hafalan yang berkualitas. Paman beliau begitu yakin
bahwa beliau akan mampu menghafal Al-Quran sehingga pada tahun 2002, beliau
meminta izin kepada paman beliau agar bersedia menerima setoran sekaligus
memberikan bimbingan dan arahan. Paman beliau begitu senang dan menyarankan
penulis untuk menghafal ¼ juz setiap hari sehingga dapat khatam dalam 4 bulan. Paman
beliau begitu yakin bahwa beliau mampu menghafalkan 30 juz Al-Quran sebab
sewaktu kecil (sebelum baligh) yakni sebelum berumur 15 tahun, beliau sudah
berhasil mengkhatamkan hafalan kitab Alfiyah
dalam waktu 40 hari, kitab Sullam
Munauraq dalam waktu 1 hari, kitab Jauhar
Maknun dalam 2 hari, kitab Nazhm
Al-Maqshud (Yaqulu) dalam waktu 1 malam, kitab ‘Imrithi dalam waktu 1 hari, dan Matan Jam’u Al-Jawami’ Fi Ushul Al-Fiqh dalam waktu 7 hari. Bahkan beliau
pernah menghafal lima bait Al-Zubad
dalam waktu satu menit. MasyaAllah.
Beliau telah terstimulasi kecerdasan otaknya sejak dini.
Kecerdasan
otak bukanlah sesuatu yang diwariskan. Sebab pada dasarnya setiap manusia itu
cerdas akalnya. Setiap manusia dengan kondisi fisik dan psikis normal tanpa
kelainan/kecacatan, dikaruniai sekitar 1 trilyun sel otak. Bahkan dikabarkan Albert Einstein saja, orang yang
dijuluki manusia paling cerdas, baru menggunakan <20% otaknya. Sehingga
janji Allah SWT akan kemudahan dalam menghafal Al-Quran adalah sesuatu yang
telah teruji secara ilmiah. Begitu besarnya kapasitas otak kita dalam merekam
memori, menjadikan kesulitan menghafal sebagai tanda tanya besar. Apa
sebenarnya yang salah? Apa yang membedakan antara kita dengan Albert Einstein atau D. M. Makhyaruddin, yang notabene
merupakan hafidz berprestasi? Kapasitas otak kita sama dengan mereka, namun
mereka melakukan usaha lebih keras dalam memaksimalkan kemampuan otak mereka. Walaupun
sempat terbersit iri pada penulis buku ini sebab sudah terstimulasi kemampuan
otaknya sejak kecil, namun tak ada kata terlambat. Kuasa Allah SWT melingkupi
seluruh hamba-Nya yang mempercayai. Sehingga keajaiban akan selalu ada sebab
ada Allah ta’ala.
Penulis buku
yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam menghafalkan kitab-kitab karangan
manusia, ternyata juga mengalami beberapa hambatan dalam menghafalkan Al-Quran.
Pada hari pertama menghafal, yakni pada juz 30, setelah beliau berkonsentrasi
pada bacaan dan mengulang-ulang ayat demi ayat dalam surah An-Naba, ayat-ayat
sebelumnya nyaris tak tergambar dan seolah-olah belum dihafal. Beliau terus
mengulang-ulang, namun tak kunjung lancar. Bahkan beliau sempat bergumam ‘Ini
baru sarah An-Naba susahnya sudah begini, bagaimana dengan surat-surat lain di
juz-juz berikutnya?’. Beliau kemudian menangis dan berdoa ‘Ya Allah, beri aku
cahaya dari setiap huruf Al-Quran yang kulihat dan kulafadzkan. Ampuni
dosa-dosaku.’
Setelah merasa
lelah, beliau menghentikan hafalan dan shalat ashar. Selepas shalat ashar
beliau memutuskan untuk mengevaluasi diri dan membuat langkah strategis
kedepannya di belakang mushalla. Sebuah lokasi yang begitu sejuk dengan
dikelilingi oleh sawah yang menghijau. Beliau kemudian merencanakan untuk mulai
menghafal Al-Quran dari surat Al-Baqarah dan membuat jadwal menghafal kemudian
ditempelkan di tempat yang sering beliau lewati.
Keesokan
harinya, sesuai dengan rencana, beliau mencoba menghafal surat Al-Baqarah, dan MasyaAllah beliau menemukan kemudahan
luar biasa. Dalam waktu kurang dari 10 menit, beliau mampu menghafal ¼ juz
tanpa kesalahan saat diulang. Prinsip beliau, hafalan hari esok tidak boleh
lebih sedikit dari pada hari ini, bahkan harus lebih banyak, dan hafalan yang
sudah terrekam dalam memori tidak boleh lupa, namun harus lebih lancar. Untuk
menjaga hafalan, beliau menggunakan tiga metode pengulangan, yaitu:
1. Tadzkir : Pengulangan dengan bacaan
cepat, 10 juz sekali duduk. Metode ini dikerjakan dengan membayangkan ayat-ayat
dalam hati tanpa diucapkan. Dengan menggunakan metode ini, beliau dapat
menyelesaikan takrir 1 juz dalam waktu 5 menit. Namun metode ini membutuhkan
kelancaran hafalan dan konsentrasi yang tinggi. Otak lebih cepat lelah.
2. Talfidz : Pengulangan dengan ritme
bacaan yang sedang dan suara lantang. Dikerjakan sebanyak ½ sampai 1 juz setiap
selesai shalat 5 waktu. Bertujuan untuk mengevaluasi hafalan, agar tak ada yang
keliru.
3. Tanzhir : Pengulangan dengan dilihat
terlebih dahulu kemudian baru diulang dengan suara yang lantang. Biasanya
diterapkan pada ayat-ayat yang mudah keliru atau mengulang hafalan baru.
Akhirnya
beliau mampu menghafal setiap juz dalam Al-Quran dengan kecepatan rata-rata
sekitar 1 jam, dengan waktu terlama, yaitu lebih dari satu hari pada juz ke-25.
Pada hari ke-55 beliau sudah menghafal 28 juz, dan berhasil menghafal juz 29
dan 30 pada hari ke-56. Air mata beliau meleleh dan melihat matahari duha,
dedaunan, dan ranting pepohonan seolah-olah mengalungkan bunga pada beliau.
Beliaupun bersujud syukur dan mengucap doa:
“Ya Rabb,
berilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, berilah aku kesempatan untuk mengerjakan
amal-amal shaleh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan kasih sayang-Mu
ke dalam hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. An-Naml (27) : 19)
Beliau juga
teringat pada sebuah hadits, Rasulullah Saw. pernah berkata ketika pulang dari
Perang Badar: “Kita pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar”. Para
sahabat bertanya “Apa jihad besar itu, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw.
bersabda: “Jihad (melawan) nafsu.” Dari harits tersebut beliau merasa bahwa
hari ke-56 tersebut adalah momen terselesaikannya jihad kecil. Jihad besar
telah menanti, yaitu menjaga hafalan hingga akhir hayat.
Beliau kembali
memaparkan poin penting yakni tidaklah hebat kemampuan menghafal cepat. Karena
jika dihubungkan dengan sains, kecepatan menghafal adalah soal habit/kebiasaan,
sehingga dapat di latih. Namun yang hebat adalah orang yang diberikan kemampuan
untuk terus menjaga hafalannya dengan istiqamah dan mengamalkannya dengan baik,
sehingga Al-Quran melekat kuat dalam hati dan mampu berakhlak dengan akhlak
Al-Quran.
Dari
pengalaman beliau, ada 3 hal penting yang harus dipenuhi secara maksimal oleh
calon penghafal, yaitu:
1.
Persiapan (Al-I’dad)
2.
Proses (Al-Kaifiyyah)
3.
Penjagaan (Al-Muhafazhah)
Ketiga hal di atas akan penulis
resensi paparkan dalam part-part selanjutnya dari resensi buku ini. Sebab
seluruh pemaparan di atas, barulah pengantar, belum sampai ke inti dari buku
ini. Semoga penulis resensi dan pembaca sekalian dapat menuai manfaat dan
ditetapkan hatinya oleh Allah SWT untuk istiqamah menjadi penghafal Al-Quran.
Amin ya rabbal alamin.
Atas
segala salah, semoga Allah SWT mengampuni dan atas nama pribadi memohon maaf
yang sebesar-besarnya. Wallahu alam bish
shawwab. Semoga bermanfaat J
Sumber tambahan:
- fakta otak manusia: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/kita-bisa-lebih-pintar-dari-einstein-600133.html
- gambar: https://dearayufitria.files.wordpress.com/2014/05/rahasia-nikmatnya-menghafal-al-quran.jpg
0 komentar:
Posting Komentar