RUU KUH Pidana: dari Pasal ‘Karet’ hingga Pasal Santet
Oleh: Haerudin Fauzi

Pemerintah telah menyerahkan rancangan undang-undang KUHP kepada DPR per 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-88/Pres/12/2012 itu memuat 766 pasal. Dibanding KUHP lama produk kolonialis Belanda (Wetboek van Strafrecht), revisi KUHP menambah 197 pasal.
Namun, rancangan KUHP baru ini dikritisi sejumlah kalangan karena dinilai mengandung pasal kontroversial hingga pasal karet (hatzai artikelen) yang dapat mengancam kebebasan. Beberapa pasal yang mendapat sorotan publik antara lain soal penghinaan kepada presiden (Pasal 265 dan 266), penyadapan (Pasal 300-303), soal komunisme (Pasal 212 dan 213), hingga soal santet (Pasal 293) dan hidup bersama (Pasal 485).
 Santet (praktik ilmu gaib) memang bukan suatu yang tabu bagi penduduk Indonesia terutama daerah pelosok yang masih mempercayai roh-roh leluhur dan memujanya sebagai roh pelindung desa dalam setiap ritual adat yang dilaksanakan.
Fenomena santet (di Eropa dikenal dengan nama “voodoo”) dulunya pernah menjadi suatu pergejolakan di Eropa yakni pada zaman pertengahan yang sering disebut sebagai zaman kegelapan (The Dark Ages). Namun setelah memasuki abad ke-15 dan 16, Bangsa Eropa mulai meninggalkan masa-masa zaman kegelapan dan munculnya zaman Renaisans (dalam bahasa Perancis “Renaissance”). Pada zaman ini kepercayaan terhadap magic (sihir-menyihir) mulai ditinggalkan dengan memunculkan peradaban baru.
Sebagai bahan perbandingan Komisi III telah berencana melakukan kunjungan ke Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda guna membahas revisi RUU KUHP, salah satunya soal pasal santet.
Dalam Rancangan KUHP itu, santet tercantum dalam Pasal 293 ayat (1), yang bunyinya: "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental  atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Ayat (2) berbunyi: "Jika pembuat tindak pidana sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya  dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."
Anggota Komisi III, Ahmad Dimyati menyatakan bahwa RUU Santet ini berupaya meminimalisir aksi main hakim sendiri oleh warga kepada orang yang tertuduh melakukan praktik santet. “Santet ini harus diatur supaya tak terjadi main hakim sendiri, dan orang-orang jera untuk menggunakan santet.”
Suara sumbang keluar dari anggota Komisi III lainnya, Eva Kusuma beranggapan bahwa pasal kejahatan gaib itu secara teknis, bukti formil mungkin bisa dipenuhi. Lalu bagaimana dengan materialnya? Menurutnya, hal itu justru akan menjadi alat kriminalisasi. “Terutama tentang pelaku, bahwa pengirim adalah X atau Y. Itu yang bikin rawan untuk kriminalisasi seseorang.” Lebih lanjut ia menegaskan, “Pasal ini banyak mudharatnya, dan memundurkan praktik hukum karena memfasilitasi irasionalitas.”