Jumat, 03 Juli 2015


Bismillaahirrahmaanirrahiim...

            Assalamua’laikum wr.wb

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Ali Imron: 104)


            Ikhwahfillah yang saya cintai melebihi diri saya sendiri, karena Allah SWT...

            Tak terasa waktu begitu cepat berputar. Baru kemarin rasanya bayi mungil ini lahir ditengah-tengah lingkungan baru yang belum sama sekali ia lihat. Kini bayi mungil itu kembali dipaksa untuk dewasa secepat mungkin. Menatap lebih tajam, berdiri lebih tegap, melangkah lebih cepat, dan dipaksa berpikir jauh lebih dewasa dari teman sepermainannya. 

            Ikhwah sekalian yang terus saya banggakan...

            Bayi mungil itu adalah organisasi yang kita duduki sekarang. Yang dipundak kita teremban amanah dakwah lewatnya. Organisasi yang hidup atas dasar visi besar perbaikan generasi pemuda kedepan. Organisasi yang dipercepat tumbuhnya demi menanggung tuntutan-tuntutan lingkungannya. Aktor kecil yang harus berpikir dan bertindak jauh melangkahi kesiapan dirinya.
            31 Desember 2012 di Aula Wisata Situ Gitung menjadi saksi lahirnya wajah pergerakan baru di wilayah kampus 2 UIN Jakarta. Kala itu akh Abdullah Shidqul Azmi menjadi pemangku amanah dakwah perdana dalam sejarah kepengurusan organisasi ini. Hingga pada periode selanjutnya (15 Maret 2015) organisasi ini dihadapkan pada kenyataan pola kepemimpinan yang baru dan jarang terjadi. Pola kepemimpinan yang menempatkan seorang muda memimpin tua. Karena keterbatasan dan ketersediaan jumlah kader ikhwan yang ada, maka kebijakan itulah yang paling ideal untuk diterapkan.
            Hari demi hari, minggu demi minggu, organisasi rumah pengkaderan ini semakin beranjak menuju proses pendewasaan secara cepat dan mengakar. Transformasi kinerja organisasipun menjadi tagline kepengurusan ini diatas berbagai macam persoalan dan dinamika internal yang ada. Proses perbaikan struktur, pembangunan sistem manajerial organisasi yang rapi, terencana, dan produktif, riayah kader, penguatan soliditas internal, ekspansi pergerakan, hingga pencitraan kelembagaan pun dilakukan. Dengan visi ketua umum yakni “merekonstruksi  gerakan organisasi dalam ranah internal, fungsional, dan eksternal demi terwujudnya organisasi yang kuat, mandiri, berdayaguna, solutif, inofatif , dan mampu menjawab kebutuhan serta tantangan lingkungan” organisasi ini diharapkan mampu menjadi jawaban dan solusi dari berbagai persoalan minimal di kawasan lingkungan kampus 2 UIN Jakarta.

            Saudaraku... Mari bersama kita renungkan.
            “Memimpin itu menderita”. Petuah dari yang mulia Agus Salim ini menjadi sangat saya maknai keberadaannya selama masa kepemimpinan dalam organisasi ini. Menderita. Pundak yang terasa lebih berat dari biasanya. Beban moral, psikologis, persoalan internal, hingga tuntutan pencapaian. Menderita, mengharuskan diri ini untuk paham kepada orang lain lebih banyak dari pada orang lain memehami diri ini. Menderita. Diatas sulitnya mengatur manusia-manusia dengan karakter yang berbeda. Manusia dengan tingkat aktifitas hidup yang lebih tinggi dari biasanya. Dengan tingkat pemangkuan amanah yang lebih banyak dari lainnya.

            Saudaraku...
            Renungkanlah hadits berikut...
            “Setiap kalian akan dimintai pertanggungjawbannya terhadap yang dipimpinnya. Seorang Amir adalah pemimpin. Seorang suami juga pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suami dan anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawban atas yang dipimpinnya.” (Bukhari: 4801). Inilah yang selalu menjadi alasan kuat kita tetap bertahan dalam organisasi ini. Bertahan walau tak dipungkiri terlalu sering juga kita melanggarnya. Kedisiplinan terhadap amanah masih terus dipertanyakan walau sebenarnya kita adalah AKTIVIS DAKWAH.          

            Memaknai Keseimbangan

            Frasa ini yang saya rasa tepat untuk dilekatkan pada diri kita. Kita yang berada dalam rumah pergerakan ini. Kondisi internal komisariat yang terdiri dari kader-kader dengan beban amanah yang tidak hanya satu. Tantangan yang dihadapi komisariat ini adalah bagaimana membangun kesadaran dalam diri tiap pengurus untuk berlaku seimbang. Memaknai bahwa perlu adanya pengaturan waktu dan prioritas dalam kerja-kerja dakwah. Diatas besarnya tantangan ini, kondisi lain yakni bagaimana memahamkan kader tentang gerak dakwah yang berbeda antara internal dan eksternal kampus. Terlalu banyak kader yang menempatkan pola dan gaya berorganisasi dakwah internal kedalam sistem komisariat hingga terasa tidak terlalu kentara apa bedanya KAMMI dengan organisasi lembaga dakwah kampus.

            Memaknai keseimbangan adalah juga berbicara tentang niat serta profesionalitas. Lurusnya niat menjadi gerbang awal, namun profesionalitas dan penempatan diri yang tepat menjadi instrumen dalam menciptakan produk yang maksimal. Maka kedua hal ini harus diseimbangkan. Perjalanan komisariat ini selama satu periode kepengurusan terlalu sering habis membincangkan perihal profesionalitas yang terus didorong kualitasnya.

            Kesyukuran Positif
            Ikhwah sekalian yang dirahmati Allah SWT...

            Patut disyukuri dalam proses kepengurusan periode ini adalah kerja-kerja dakwah para kader komisariat telah tampak dibalas oleh Allah dengan berbagai wujud dan hasil-hasil nyata yang sangat terasa. Program-program kerja dari berbagai lini departemen yang semakin meningkat, baiknya kedekatan dengan masyarakat, penerimaan dalam lingkungan elemen pergerakan kampus, militansi kader yang mulai terbangun, hingga prestasi-prestasi lain baik yang bersifat materil ataupun yang lebih kepada pembangunan operasional organisasi yang semakin mapan.
            Akhirulkalam...

            Semoga Allah meridhoi tiap abdi kita dalam masa periode kepengurusan ini. Memaafkan atas banyaknya khilaf dalam pemangkuan amanah. Niat yang belum lurus, lisan yang kering akan zikir, dan hati yang terlalu sering untuk menghardik. Jikapun periode ini dinilai sebagai keberhasilan maka ini adalah bentuk dari kerja-kerja bersama kita. Dan ataupun dipandang sebagai kegagalan, haruslah muhasabah menjadi bagian utama tatapan kita kedepan.
             
            Untukmu yang akan melanjutkan estafet pergerakan ini, persiapkanlah diri antum dari sekarang. Karena tidak ada waktu lagi untuk berdiam diri, menunggu datangnya para inisiator kebaikan. Tetap teguh dan teruslah cintai organisasi ini sebagai wadah antum untuk mengabdi lebih nyata dan lebih besar dari sebelumnya.

            “Katakanlah hai Muhammad, bekerjalah kamu sekalian maka Allah akan melihat hasil karya kalian, juga Rasul-Nya dan segenap kaum beriman. (At-Taubah:105).”


                                                                                                Ciputat, 26 Juni 2015
                                                                                                Ketua Umum


                                                                                                 
                                                                                                Rakhmat Abril Kholis


Posted on Jumat, Juli 03, 2015 by Unknown

No comments

Senin, 23 Maret 2015

Saatnya untuk Menikah
   Mohammad Fauzil Adhim, Yogyakarta: Pro-U Media (2012)
 
                                                
Reviewed by Rakhmat Abril Kholis

Tuhanku, jangan biarkan aku sendirian.
Dan Engkau adalah sebaik-baik Warits.”
(QS. Al-Anbiya’:89)

“Karena itu kita tidak bisa megenalnya kecuali melalui pergaulan yang betul-betul dekat selama bertahun-tahun, dan itu hanya bisa dilakukan melalui pernikahan.
Satu-satunya bentuk persahabatan dengan lawan jenis yang  memungkinkan
untuk bersikap apa adanya, mengetahui apa adanya, dan tidak ada ruangan yang
memungkinkan untuk banyak berpura-pura
atau bersikap manis terus-menerus,
 terkecuali jika karakternya memang demikian.”
(Mohammad Fauzil Adhim)

            Karir atau menikah? Lanjut kuliah atau menikah? Ah, mending dinikahin segera, daripada direnggut orang lain. Nanti sajalah, kan masih mau mengabdi dengan lingkungan dan bangsa. Menikah itu harus siap semuanya, tidak sebercanda itu. Saya belum pantas untuknya. Dan berbagai pernyataan lainnya menjadi bumbu para kaula muda yang mulai beranjak dewasa ataupun juga para pendewasa yang takut usia tuanya hampa, tanpa kehadiran seorang penyejuk jiwa, pendamai hati, peneduh mata. Pasangan yang mampu menjadi bagian dari tiap proses kesuksesan, bagian dari ikhtiar menuju jannahNya. Merengkuh separuh agama. Ya, Menikah.

            Rasanya sekadar ungkapan apresiasi tinggi tidak akan cukup untuk disematkan kepada penulis buku yang sangat menggugah ini. Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dirasa telah mampu mengoyak-ngoyak banyak pertanyaan mendetail perihal seluk-beluk pra pernikahan. Pertanyaan yang banyak ia dapatkan diberbagai ruang-ruang seminar diskusi, forum non-formal, tausiah, dan lain sebagainya. Ia telah berhasil menjadi motivator pernikahan yang baik untuk para mahasiswa yang mendambakan pernikahan, untuk para pekerja yang telah mapan, untuk para wanita karir yang terlampau serius dengan pekerjaannya.

            Buku yang terdiri dari sembilan bab ini secara subtansi dinilai telah cukup baik untuk menjadi rujukan pengantar bagi para insan yang merindukan pernikahan. Dengan bahasa yang sangat sederhana disertai banyak kisah-kisah penuh hikmah dari zaman Rasulullah dan para sahabat, hingga era abad pertengahan, buku ini sangat terasa nikmat tukdibaca bagi semua kalangan. Tanpa banyak berkutat pada tataran dalil halal atau haram, bid’ah atau tidak dan sebagainya, namun bertumpu pada penalaran sederhana dengan konsep penqiyasan kisah serta ucapan nabi semakin menambah kuat pemahaman para pembaca buku ini tentang pernikahan dari akar hingga buahnya.

            Pada bagian awal, penulis membingkai para pembaca dengan narasi prasyarat yang harus diutamakan sebelum melangsungkan prosesi pernikahan. Ini dimaksudkan agar terdapat pondasi yang kuat untuk para pembaca dalam memaknai betapa pentingnya persiapan. Beberapa hal seperti pembekalan akan ilmu tentang perikahan, kemampuan memenuhi tanggungjawab, kesiapan menerima anak, kesiapan psikis, hingga kesiapan ruhiyah, menjadi standar awal menuju proses selanjutnya. Menikah bukanlah ritualitas akhir dari proses ‘perzinaan’ (pacaran), namun prosesi awal menuju jannahNya. Menikah atas dasar ilmu yang baik, kesiapan memenuhi tanggungjawab bukan malah harus menunggu kemapanan secara materil, keterpaduan aspek psikis yang kuat sehingga mampu melewati banyak halang rintangan yang bakal terjadi kedepannya dan juga pemantapan ruhiyah yang menjadi kategori utama dalam menentukan pasangan.

            Pada bab selanjutnya ustadz M. Fauzil Adhim menceritakan kepada para pembaca tentang bagaimana cara mempersiapkan diri sebelum pernikahan dengan mengenal lebih dekat istri atau suami yang akan dipinang dan mengingatkan tentang kewajiban memberi nafkah bagi seorang suami kepada istri. Berikutnya pembahasan lebih ditekankan pada apa-apa saja yang perlu diketahui tentang jodoh, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Disini penulis menggambarkan secara gamblang mengenai makna ayat Alquran “Lelaki yang baik untuk wanita yang baik”. Banyak pertanyaan mengapa terkadang ada seorang suami/istri yang berakhlak baik dipertemukan dengan pasangan yang bertolak belakang bahkan dengan seorang pezina. Pertanyaan yang demikian disimpulkan dengan tegas bahwa adakalanya pasangan hidup diutus sebagai ujian di dunia. Pilihan Allah untuk hambaNya yang ia kasihi, apakah nantinya qanaah ataukah malah ingkar.

            Menikah adalah tentang mengenal pasangan. Dalam hal ikhwal ini, penulis memaparkan lebih lanjut bagaimana teknik mengenal seseorang yang akan kita jadikan pendamping hidup. Bahasa lumrahnya ‘target sasaran’. Bagaimana mengenalnya secara pribadi, menggunakan perantara yang dapat terpercaya, dan juga mencari informasi pembanding. Pada bagian ini, penulis menjelaskan kisah dimana seorang Khadijah mengutus Maisarah (teman lelakinya) untuk bersama dengan Nabi Muhammad demi mendapatkan informasi yang akurat tentangnya. Hingga akhirnya pernikahan antara dua manusia yang diagungkan itupun berlangsung.

            Terkadang seseorang sulit menikah bukan karena tidak ada pasangan yang baik atau yang mau, melainkan juga karena standar kriteria yang terlampau tinggi. Itulah Ustadz Fauzil Adhim mengingatkan kepada para ikhwan maupun akhwat agar tidak berfokus kepada kriteria yang sangat memberatkan. Allah memberikan kemudahan dan tidak mengingkan kesulitan bagimu. Kebanyakan mereka yang belum juga menikah malah membuat kesulitan itu. Seyogyanya kita harus peka dengan kekurangan orang lain dan berani menerimanya dengan penuh kerelaan hati.

            Bab berikutnya adalah bagian yang cukup menarik bagi banyak pembaca. Yakni tentang banyak pertanyaan apakah sebelum pernikahan kita diperkenankan untuk melihat bagian tubuh dari pasangan yang kita inginkan. Melihat bagian tubuh yang diinginkan secara detail (nazhar). Pada intinya Ustadz Fauzil Adhim menerangkan bahwa dibolehkan bagi seorang lelaki/wanita untuk melihat bagian tubuh calon pasangannya dengan niat tulus demi meningkatkan hasrat untuk menikah. Hal ini beliau dasarkan pada banyak kisah sahabat Nabi yang melakukannya. Umar bin Khattab yang meminta Ummi Kultsum untuk memperlihatkan betisnya. Ataupun juga seorang sahabat nabi yakni Mughiroh bin Syu’bah yang pernah menikah hingga tujuh puluh kali hanya karena istrinya tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Namun setelah melakukan nazhar, sahabat nabi tersebut bertahan dengan istrinya yang terakhir. Hingga berbagai kisah yang dinukilkan tentang bagaimana terdapat hikmah kebaikan tentang proses nazhar sebelum pernikahan. Intinya supaya tidak terjadi kelesuan dalam berkeluarga dan ketidakharmonisan hanya karena salah memilih orang. Memang dalam hal nazhar ini masih terdapat banyak perbedaan diantara ulama. Apakah dibolehkan melihat keseluruhan tubuh, hanya bagian-bagian tubuh tertentu yang diinginkan saja, ataukah hanya bagian tubuh kecuali aurat saja. Wallahua’lam bisshawab.

            Pada akhir dari karya yang begitu bermanfaat ini, penulis menegaskan bahwa tidak selamanya laki-laki yang harus mendekati wanita. Wanitapun tidak dilarang untuk menginisiasi niat untuk menawarkan diri kepada lelaki yang ia inginkan. Begitulah yang dicontohkan oleh bunda Khadijah RA. Banyak kisah tentang wanita yang menawarkan dirinya kepada lelaki pada era Rasul dan sahabat yang digambarkan pada buku ini. Kisah tentang seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah hingga akhirnya Rasul nikahkan  ia dengan sahabatnya dan juga kisah tentang orang tua yang menawarkan putrinya untuk seorang lelaki. Syafura putri Nabi Syu’aib yang dinikahkan dengan Nabi Musa dan Hafshah putri Umar bin Khattab yang dinikahkan dengan baginda Rasulullah SAW.

            “Jadi, jika memang ada orang yang mantap agama dan akhlaknya, mengapa Anda membiarkannya mengganggu perasaan Anda? Mengapa tidak Anda sampaikan kepada orang tua sebagaimana putri Syafura menyampaikan kepada ayahnya, Nabiyullah Syu’aib a.s? Mengapa persoalan yang semacam ini Anda biarkan membuat rusuh hati Anda?


            Akhirnya, saya haturkan ungkapan terimakasih yang mendalam kepada Ustadz Moh. Fauzil Adhim atas karyanya yang sungguh mencerahkan. Karya yang saya rekomendasikan untuk dibaca bagi khalayak sekalian yang saat ini sedang rusuh hatinya. Semoga kita bersama dapat memetik hikmah dari apa yang tertulis dalam karya ini dan juga kita doakan agar penulis beserta keluarga selalu diberikan kesehatan dan kenikmatan oleh Rabb semesta alam.

Profil Reviewer
Ketua Umum PK KAMMI Medsos 2014-2015
Fakultas Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Posted on Senin, Maret 23, 2015 by Unknown

No comments

Inspirasi Kepedulian dari Seorang Wanita Tua

Oleh :
Mahdiah Maimunah


Tangan wanita tua itu seperti tak pernah lelah bercengkrama dengan apa saja. Pisau, sabit, parang, sapu dan segalanya. Padahal jika dilihat dari usianya, harusnya ia sudah tak perlu berhubungan dengan alat-alat itu. Tak perlu letih untuk mengerjakan semuanya.
Namun, semua itulah yang membuat pesonanya selalu hadir di pelupuk mataku. Keberadaannya yang beberapa kali mengunjungi rumah untuk menjaga kami sungguh selalu berkesan dan penuh makna. Maka, diam-diam aku menjadikan wanita tua itu sebagai bagian dari inspirasi terbesarku. Inspirasi bagi nutrisi moral yang sangat rumit ditemukan secara Cuma-Cuma di mana saja. Jika ada, itu mungkin hanya bisa diperankan oleh orang-orang pilihan dan biasanya jarang dijumpai di permukaan.

Suatu kali dalam kunjungannya ke rumahku, wanita yang lebih akrab kusapa nenek itu terlihat sibuk. Seolah tak ada kata istirahat untuk raganya. Hari itu saja, ia sudah bangun pukul 3, melaksanakan lail dan menunggu waktu shubuh. Usai shubuh, tangannya mulai cekatan menanak nasi, kemudian merebus air. Berhubung aku yang menyiapkan resep menu hari itu, maka nenek mengambil alih pekerjaan yang lain. Menyapu rumah dan turut membereskan seluruh bagian rumah yang sudah lama tidak terjamah.

Nenek melakukannya hingga semua adikku telah beranjak menuju sekolah. Ia melakukan semuanya seolah rumahku adalah rumahnya sendiri. Padahal kami tidak pernah meminta nenek melakukannya. Setelah itu, nenek seperti digairahkan untuk membabat habis rumput liar yang telah tinggi di pekarangan depan. Aku saja yang masih muda ini paling kapok jika disuruh menyabiti rumput. Paling-paling hanya menyapu daun-daun yang berserakan. Untuk membersihkan dengan menyabitinya, ya aku serahkan saja kepada tukang pangkas rumput yang datang kira2 beberapa bulan sekali. Hmmm…. Nenek…. Nenek….

Itulah nilai lebih yang kudapati dari seorang nenek. Ada bentuk kepedulian yang muncul dari kepekaan jiwanya. Tapi yang lebih mengagumkan, ketika kepeduliannya segera ditunaikan melalui perbuatan. Tanpa banyak kata. Tanpa menyuruh orang lain yang melakukannya. Tanpa protes bahwa rumah ini jorok, tidak pernah dibersihkan dan sebagainya. Yang ada hanya aliran kebaikan yang bermula dari keindahan hatinya dan bermuara pada aksi nyata. Sungguh, inilah sebuah makna kepedulian tanpa kata yang jarang kita temui di kehidupan kita.


Ya Allah, cintailah ia sebagaimana ia telah mencintai kami dengan segala kebaikan. Rahmatilah ia dan balaslah segala amalannya di Surga Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik tempat untuk meminta. Aamiin….

Profil penulis :

Staff Departemen Kebijakan Publik PK KAMMI Medsos 2015
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
angkatan 2012
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Posted on Senin, Maret 23, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 08 Maret 2015

Resensi Buku #part1

Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Quran

Siapapun Anda, Anda adalah Penghafal Al-Quran

Penulis: D. M. Makhyaruddin (Juara 1 Tahfidz dan Tafsir Al-Quran 30 Juz Musabaqah Internasional)

By: Rumaisha Azlam



                “Sesungguhnya menghafal Al-Quran itu tidak membutuhkan metode, tetapi yang dibutuhkan dalam menghafal Al-Quran hanyalah niat, mujahadah, dan istiqamah.”
                Begitulah sapaan dari penulis yang menggetarkan hati. Kalimat tersebut membuka cakrawala, bahwa sesungguhnya ada hal lain yang lebih penting dibandingkan sebuah metode menghafal Al-Quran. Hal-hal tersebutlah seharusnya yang pertama dimiliki oleh seorang penghafal Al-Quran. Bukan sebuah metode mudah/cepat menghafal Al-Quran, melainkan sebuah niat yang kuat, mujahadah yang tak kenal lelah, dan keistiqamahan sepanjang hayat. Ketiga hal tersebut adalah kunci untuk menjadikan seseorang hafal dan mampu menjaga hafalan hingga ajal menjemput.  
Pada halaman-halaman awal buku di bagian “Pengantar Pakar Tahfidz”, Hj. Isti’anah Muay (Ibunda penulis, Hafidzah Senior Indonesia, Pendiri PPTQ Al-Mustaqimiyyah, Sadeng, Bogor) memaparkan beberapa konsep penting dalam menghafal Al-Quran, yang dapat penulis resensi simpulkan. Tiga diantaranya adalah,
@ Banyak orang yang berkeinginan untuk menghafal Al-Quran, namun tak semuanya mau tergerak tuk menghafalkannya. Maka, jadilah orang yang berkeinginan kemudian merealisasikan keinginan tersebut.
@ Menghafal Al-Quran itu tidak terhenti pada aktivitas menghafalkan ayat demi ayat Al-Quran. Ketika seseorang memutuskan untuk menghafal Al-Quran, maka secara otomatis harus berlatih disiplin, ikhlas, sabar, dan amanah. Sebab tak sekadar untuk khatam, namun berusaha setia hidup bersama Al-Quran. Sehingga menghafal, murajaah, dan menjaga kualitas keimanan serta ketaqwaan adalah satu paket tak terpisahkan.
@Wisuda hafidz yang sesungguhnya adalah ketika manusia dikumpulkan di Mahsyar, bukan di dunia.
Kemudian pada bagian “Pengantar Penulis” penulis memaparkan beberapa hal penting. Bahwa ternyata memburu cara mudah dan cepat menghafal Al-Quran terkadang membuat penghafal Al-Quran tidak menikmati aktivitas menghafal itu sendiri. Padahal, berdasarkan pengalaman penulis buku ini yang menghafalkan Al-Quran dalam dua bulan (dengan hafalan yang berkualitas) rasa nikmat adalah kunci mudah dan cepatnya menghafal Al-Quran. Jika merujuk berbagai metode ulama terdahulu mengenai cara-cara menghafal Al-Quran, tidak ada satupun metode yang tujuannya untuk membuat cepat hafal. Namun metode-metode tersebut dibuat agar hafalan menjadi kuat dalam ingatan. Cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam menghafal Al-Quran tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah menikmati prosesnya, tak lupa terhadap hafalannya, dan sebisa mungkin mengamalkan kandungannya.
Sebelum beranjak ke materi utama, penulis menyisipkan sebuah catatan inspiratif “Dua Bulan di Pangkuan Al-Quran” yang merupakan kisah dari pengalaman pribadi beliau dalam menghafal Al-Quran. Berikut akan penulis resensi paparkan lika-liku Beliau dalam menghafal Al-Quran.
Allah SWT sudah menjanjikan kemudahan dalam menghafal Al-Quran. Kemudahan tersebut menjadi sebuah ujian keikhlasan bagi para penghafalnya. Setan begitu cerdik dalam menggoda manusia. Di tengah-tengah ujian keikhlasan tersebut, setan terus menarik-narik nafsu manusia agar tak mampu lagi bersabar dalam menghafal Al-Quran. Kondisi ini adalah kondisi yang cukup sulit, sebab bisa jadi lembaga tahfidz, bermacam metode, buku, dll. tidak dapat menolong lagi. Oleh karena itu alangkah lebih baiknya jika kita tidak bergantung pada lembaga tahfidz atau metode dan tips. Bergantunglah pada Al-Quran. Sebab Al-Quran itu adalah lembaga, sekaligus metode dan tips.
Pengalaman penulis buku memang cukup menarik dalam menghafalkan Al-Quran. Beliau belajar Al-Quran dari paman beliau yang bernama H. Achmad Basyir Fachmi, seorang hafidz Al-Quran yang mahir Qira’at. Paman beliau sering kali memotivasi dengan menceritakan tokoh-tokoh penghafal Al-Quran yang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang singkat dengan hafalan yang berkualitas. Paman beliau begitu yakin bahwa beliau akan mampu menghafal Al-Quran sehingga pada tahun 2002, beliau meminta izin kepada paman beliau agar bersedia menerima setoran sekaligus memberikan bimbingan dan arahan. Paman beliau begitu senang dan menyarankan penulis untuk menghafal ¼ juz setiap hari sehingga dapat khatam dalam 4 bulan. Paman beliau begitu yakin bahwa beliau mampu menghafalkan 30 juz Al-Quran sebab sewaktu kecil (sebelum baligh) yakni sebelum berumur 15 tahun, beliau sudah berhasil mengkhatamkan hafalan kitab Alfiyah dalam waktu 40 hari, kitab Sullam Munauraq dalam waktu 1 hari, kitab Jauhar Maknun dalam 2 hari, kitab Nazhm Al-Maqshud (Yaqulu) dalam waktu 1 malam, kitab ‘Imrithi dalam waktu 1 hari, dan Matan Jam’u Al-Jawami’ Fi Ushul Al-Fiqh dalam waktu 7 hari. Bahkan beliau pernah menghafal lima bait Al-Zubad dalam waktu satu menit. MasyaAllah. Beliau telah terstimulasi kecerdasan otaknya sejak dini.
Kecerdasan otak bukanlah sesuatu yang diwariskan. Sebab pada dasarnya setiap manusia itu cerdas akalnya. Setiap manusia dengan kondisi fisik dan psikis normal tanpa kelainan/kecacatan, dikaruniai sekitar 1 trilyun sel otak. Bahkan dikabarkan Albert Einstein saja, orang yang dijuluki manusia paling cerdas, baru menggunakan <20% otaknya. Sehingga janji Allah SWT akan kemudahan dalam menghafal Al-Quran adalah sesuatu yang telah teruji secara ilmiah. Begitu besarnya kapasitas otak kita dalam merekam memori, menjadikan kesulitan menghafal sebagai tanda tanya besar. Apa sebenarnya yang salah? Apa yang membedakan antara kita dengan Albert Einstein atau D. M. Makhyaruddin, yang notabene merupakan hafidz berprestasi? Kapasitas otak kita sama dengan mereka, namun mereka melakukan usaha lebih keras dalam memaksimalkan kemampuan otak mereka. Walaupun sempat terbersit iri pada penulis buku ini sebab sudah terstimulasi kemampuan otaknya sejak kecil, namun tak ada kata terlambat. Kuasa Allah SWT melingkupi seluruh hamba-Nya yang mempercayai. Sehingga keajaiban akan selalu ada sebab ada Allah ta’ala.
Penulis buku yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam menghafalkan kitab-kitab karangan manusia, ternyata juga mengalami beberapa hambatan dalam menghafalkan Al-Quran. Pada hari pertama menghafal, yakni pada juz 30, setelah beliau berkonsentrasi pada bacaan dan mengulang-ulang ayat demi ayat dalam surah An-Naba, ayat-ayat sebelumnya nyaris tak tergambar dan seolah-olah belum dihafal. Beliau terus mengulang-ulang, namun tak kunjung lancar. Bahkan beliau sempat bergumam ‘Ini baru sarah An-Naba susahnya sudah begini, bagaimana dengan surat-surat lain di juz-juz berikutnya?’. Beliau kemudian menangis dan berdoa ‘Ya Allah, beri aku cahaya dari setiap huruf Al-Quran yang kulihat dan kulafadzkan. Ampuni dosa-dosaku.’
Setelah merasa lelah, beliau menghentikan hafalan dan shalat ashar. Selepas shalat ashar beliau memutuskan untuk mengevaluasi diri dan membuat langkah strategis kedepannya di belakang mushalla. Sebuah lokasi yang begitu sejuk dengan dikelilingi oleh sawah yang menghijau. Beliau kemudian merencanakan untuk mulai menghafal Al-Quran dari surat Al-Baqarah dan membuat jadwal menghafal kemudian ditempelkan di tempat yang sering beliau lewati.
Keesokan harinya, sesuai dengan rencana, beliau mencoba menghafal surat Al-Baqarah, dan MasyaAllah beliau menemukan kemudahan luar biasa. Dalam waktu kurang dari 10 menit, beliau mampu menghafal ¼ juz tanpa kesalahan saat diulang. Prinsip beliau, hafalan hari esok tidak boleh lebih sedikit dari pada hari ini, bahkan harus lebih banyak, dan hafalan yang sudah terrekam dalam memori tidak boleh lupa, namun harus lebih lancar. Untuk menjaga hafalan, beliau menggunakan tiga metode pengulangan, yaitu:
1.       Tadzkir : Pengulangan dengan bacaan cepat, 10 juz sekali duduk. Metode ini dikerjakan dengan membayangkan ayat-ayat dalam hati tanpa diucapkan. Dengan menggunakan metode ini, beliau dapat menyelesaikan takrir 1 juz dalam waktu 5 menit. Namun metode ini membutuhkan kelancaran hafalan dan konsentrasi yang tinggi. Otak lebih cepat lelah.
2.       Talfidz : Pengulangan dengan ritme bacaan yang sedang dan suara lantang. Dikerjakan sebanyak ½ sampai 1 juz setiap selesai shalat 5 waktu. Bertujuan untuk mengevaluasi hafalan, agar tak ada yang keliru.
3.       Tanzhir : Pengulangan dengan dilihat terlebih dahulu kemudian baru diulang dengan suara yang lantang. Biasanya diterapkan pada ayat-ayat yang mudah keliru atau mengulang hafalan baru.
Akhirnya beliau mampu menghafal setiap juz dalam Al-Quran dengan kecepatan rata-rata sekitar 1 jam, dengan waktu terlama, yaitu lebih dari satu hari pada juz ke-25. Pada hari ke-55 beliau sudah menghafal 28 juz, dan berhasil menghafal juz 29 dan 30 pada hari ke-56. Air mata beliau meleleh dan melihat matahari duha, dedaunan, dan ranting pepohonan seolah-olah mengalungkan bunga pada beliau. Beliaupun bersujud syukur dan mengucap doa:
“Ya Rabb, berilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, berilah aku kesempatan untuk mengerjakan amal-amal shaleh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan kasih sayang-Mu ke dalam hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. An-Naml (27) : 19)
Beliau juga teringat pada sebuah hadits, Rasulullah Saw. pernah berkata ketika pulang dari Perang Badar: “Kita pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar”. Para sahabat bertanya “Apa jihad besar itu, ya Rasulullah?” Rasulullah Saw. bersabda: “Jihad (melawan) nafsu.” Dari harits tersebut beliau merasa bahwa hari ke-56 tersebut adalah momen terselesaikannya jihad kecil. Jihad besar telah menanti, yaitu menjaga hafalan hingga akhir hayat.
Beliau kembali memaparkan poin penting yakni tidaklah hebat kemampuan menghafal cepat. Karena jika dihubungkan dengan sains, kecepatan menghafal adalah soal habit/kebiasaan, sehingga dapat di latih. Namun yang hebat adalah orang yang diberikan kemampuan untuk terus menjaga hafalannya dengan istiqamah dan mengamalkannya dengan baik, sehingga Al-Quran melekat kuat dalam hati dan mampu berakhlak dengan akhlak Al-Quran.
Dari pengalaman beliau, ada 3 hal penting yang harus dipenuhi secara maksimal oleh calon penghafal, yaitu:
1.       Persiapan (Al-I’dad)
2.       Proses (Al-Kaifiyyah)
3.       Penjagaan (Al-Muhafazhah)
Ketiga hal di atas akan penulis resensi paparkan dalam part-part selanjutnya dari resensi buku ini. Sebab seluruh pemaparan di atas, barulah pengantar, belum sampai ke inti dari buku ini. Semoga penulis resensi dan pembaca sekalian dapat menuai manfaat dan ditetapkan hatinya oleh Allah SWT untuk istiqamah menjadi penghafal Al-Quran. Amin ya rabbal alamin.

                Atas segala salah, semoga Allah SWT mengampuni dan atas nama pribadi memohon maaf yang sebesar-besarnya. Wallahu alam bish shawwab. Semoga bermanfaat J

Sumber tambahan:
- fakta otak manusia: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/10/18/kita-bisa-lebih-pintar-dari-einstein-600133.html
- gambar: https://dearayufitria.files.wordpress.com/2014/05/rahasia-nikmatnya-menghafal-al-quran.jpg

Posted on Minggu, Maret 08, 2015 by Unknown

No comments

"Silaturrahim KAMMI MedSos"

Jumat, 5 Maret 2015

Oleh: M. Harits Taqy R., Sekretaris Jendral KAMMI Medsos




Acara diselenggarakan di Kesekretariatan KAMMI MEDSOS pada tanggal 5 Maret 2015, dengan harapan pukul 15.30 kader KAMMI MEDSOS sudah hadri dan dapat segera melaksanakan agenda yang sudah di jadwalkan. Namun dikarenakan kesibukan masing-masing kader agenda baru di mulai pukul 16.30, untuk menyamakan jadwal yang sudah ditentukan agenda dipercepat dengan membahas poin-poin berikut:
1.      Amanat dari Kamda,yaitu :
a.       Diharapakan KAMMI MEDSOS mengagendakan Kajian Rutin
b.      Memaksimalkan Media Sosial (contoh : Blog, Twitter, dan lain-lain)
c.       Menjalankan MK (Madarasah KAMMI)
d.      Menyelenggarakan DM 1
e.       Berpartisipasi dalam Milad KAMMI
f.       Berpartisipasi dalam Musda

2.      Ide-ide baru, yang menghasilkan poin-poin berikut :
a.       Pembebasan Lahan
b.      Bakti Sosial
c.       Pengajian Rutin Malam Jum`at
d.      Kerjasama dengan lembaga sekitar KAMMI MEDSOS
e.       Tukar Buku Antar Kader
f.       Family Day

Dikarenakan terdapat aktivitas baru bagi Kader KAMMI MEDSOS, berikut Timeline baru KAMMI MEDSOS :
a.       11 Maret (Rabu) – Deadline rapat masing-masing divisi beserta hasilnya.
b.      12 Maret (Kamis) – Batas pengumpulan LPJ masing-masing divisi sebelum reshuffle dan kujungan ke Kamda.
c.       15 Maret (Minggu) – Membahas Pembebasan Lahan bersama Ketua RT
d.      29 Maret (Minggu) – Milad KAMMI

Posted on Minggu, Maret 08, 2015 by Unknown

No comments

Sabtu, 28 Februari 2015

Oleh: Mahdiah Maimunah, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012, Fak. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staff departemen Kebijakan Publik KAMMI MedSos.

Islam ngga pernah ngajarin pemeluknya buat beramal biasa-biasa aja. Yang ada malah sebaliknya. Islam mengajarkan penganutnya untuk melakukan sesuatu dengan profesional. Profesionalitas dalam islam dikenal dengan bahasa 'ihsan'.

Coba simak petikan hadits kedua dalam kitab Al-Wafi tentang definisi mengenai ihsan:
"An ta'budallaha kaannakaa taroohu fainlam yakun yaroohu fainnahuu yarook."

Artinya: 
Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika tidak mampu melihatNya sesungguhnya Ia melihatmu.

Coba dipikir-pikir nih, seseorang yang beribadah kalau udah seolah-olah melihat Allah berarti benar-benar totalitas dong. Ngga mungkin lagi ada niat yang ga bener, ngga mungkin juga asal-asalan, ngga mungkin juga nantinya ngga berefek ke amalan-amalan yang lainnya.

Rangkaian-rangkaian ibadah harian yang Allah perintahkan sesungguhnya mengajarkan banyak hal terhadap kerja nyata di keseharian. Misal saja, sholat. Seseorang yang sudah baik dan benar sholatnya baik dari pre-on-post sholat insyaAllah akan terjamin juga dalam aktivitas sehari-hari. Jika pre-sholat sudah terbiasa mempersiapkan dan meniatkan untuk shalat tepat waktu, sudah seharusnya dong seorang muslim bisa datang dalam berbagai agenda tepat waktu. 

Dalam pelaksanaan sholat pun kita kenal istilah thuma'ninah yang menghendaki agar kita ruku' dan sujud dalam posisi tulang belakang yang lurus. Ketika thuma'ninah dalam sholat tidak mungkin sholatnya diburu-buru. Sedangkan secara etiologi, thuma'ninah berarti tenang. Artinya kita benar-benar menghadirkan diri kita saat shalat.

Shalat melatih konsentrasi. Memang amat sulit untuk berkonsentrasi secara utuh dari awal hingga akhir shalat. Tapi saat pikiran kita beralih, kita diminta untuk kembali berkonsentrasi pada sholat kita. Nah nah.. begitu juga dalam aktivitas lain bagi seorang muslim. Sudah seharusnya berkonsentrasi dalam belajar, dalam bekerja, dalam rapat, dan kegiatan lainnya. Bukankah konsentrasi akan meminimalisir kita untuk bekerja dua kali untuk hal yang sama? Atau memudahkan langkah-langkah yang selanjutnya? Contohnya berkonsentrasi saat kuliah memberikan manfaat kita tidak perlu sulit lagi untuk meneruskan bacaan di berbagai referensi karena konsep-konsep pentingnya sudah kita dapatkan saat penjelasan dosen. Di samping itu, kita akhirnya bisa diberi kebebasan untuk meraih lebih banyak kegiatan bermanfaat lain yang kita terlibat di dalamnya atau untuk meningkatkan kualitas diri kita.

Bahkan, dalam buku Fiqh Prioritas karya Sayyid Quthb, tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk melakukan ibadah malam berlama-lama jika menjadikannya loyo-loyoan saat bekerja di siang harinya. Pekerjaan yang ia lakukan juga membutuhkan profesionalitas. Ketika pelayanan yang diberikan kepada orang banyak menjadi tidak maksimal, berarti seseorang tersebut tidak berlaku secara profesional. Gaji bulanannya pun patut dipertanyakan akibat ketidak optimalan kerjanya.

Tautan antara ibadah dan amal nyata dalam aktivitas sehari-hari sudah semestinya dipikirkan filosofinya. Shalat bukan sekedar shalat, ngaji jangan sekedar ngaji, zakat juga jangan sembarangan, haji apalagi. 

Shalat dikatakan sebagai ibadah yang outputnya diharapkan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Cobalah dilirik-lirik ke dalam diri kita. Apa kita masih suka berbuat demikian? Keji dan mungkar jangan di-mention sebagai tindakan kriminal yang kejam-kejam saja atau yang sudah kelas berat. Hal-hal sederhana seperti berbohong, mencontek, menolak memberi bantuan juga termasuk di antaranya. 

Begitu pun mengaji. Sangat disayangkan jika kita hanya membacanya sebagai objek bisu yang tidak memberikan kita pencerahan dalam keseharian kita. Al-Qur'an itu GUIDLINE. Panduan lho. Gimana caranya hidup kita mau luar biasa kalau patokannya bukan Al-Qur'an. Apalagi Al-Qur'an itu bukan sekedar guidline untuk kehidupan dunia, tapi juga menuju akhirat.

Ada petikan menarik dari ustadz Anis Matta dalam pengantar buku Khalid bin Abdul Karim Al-lahim "Panduan Tadabbur dan Meraih Sukses dengan Al-Qur'an" 

Al-Qur'an yang kita baca sekarang kita baca adalah juga Al-Qur'an yang dulu diturunkan kepada sahabat Rasulullah saw bukan Al-Qur'an yang lain. Lalu bagaimana dengan kemampuan akal dan jiwa kita? Di sini pun sesungguhnya tidak terdapat perbedaan antara kita dan generasi sahabat. Sebab, seandainya kemampuan jiwa dan akal untuk memahami Al-Qur'an lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan generasi sahabat, tentu Allah akan menurunkan Al-Qur'an, atau minimal revisi bahasa Al-Qur'an, untuk disesuaikan dengan kapasitas jiwa dan intelektual kita. Tapi itu tidak terjadi.

Begitulah. Islam mengajarkan pribadi-pribadinya untuk berlaku secara professional. Beberapa tips berikut semoga bisa membantu kita untuk beraktivitas secara profesional

1. Pikirkan apa yang akan kita lakukan atau buat perencanaan. 
Mulai dari perencanaan harian, mingguan, bulanan, tahunan, perlima tahunan dan proyek besar lainnya. Bisa juga dibuat dalam format per-kegiatan. Misalnya proyek riset. 

Kenapa harus ada perencanaan? Tujuannya supaya benar-benar kita yang memanfaatkan waktu kita, agar waktu kita tidak hanya orang lain yang mengendalikan. Setelah dilaksanakan, kita pun bisa melihat progress nya. Apa yang sudah bisa kita lakukan dan apa yang belum. 

Di dalam surat Al-Hasyr ayat 18 pun dijelaskan mengenai perencanaan: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan." 

2.  Pikirkan ulang niat dan tujuan dari apa yang akan kita lakukan. 
Masih di ayat yang sama seperti yang tersebut di atas, Rancangan untuk hari esok/ ghodan yang kita buat, baik ibadah ritual atau ibadah aktivitas prospek akhirnya adalah akhirat. Jangan salah niat dan tujuan. "Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Kenapa harus sholat? Udah bener belum ya sholatnya? Niatnya? Udah tepat waktu belum? Udah berefek kepada tindakan sehari-hari kita belum? Udah bisa jaga shalat belum ya kita?

3. Konsentrasi
Kalau lagi belajar ya belajar, kalau memang ada komunikasi yang mendesak ya no problem untuk disambi, tapi jika bisa diselesaikan di awal atau di akhir jam belajar kenapa tidak. Begitu juga dalam ranah yang lain. 

4. Terus-terusan belajar untuk memenej waktu
Kenapa saya bilang terus-terusan? Karena kadang memenej waktu bagi sebagian orang yang tidak terbiasa sulit. Ambil simpelnya aja. Dicoba sedikit-sedikit. Misalnya kita coba menej jam ibadah dulu, terus jam di kampus, terus menej waktu untuk 1harian nanti akan rapi sendiri. 

5. Banyak baca
Mau tidak mau baca juga penting. Basic melakukan sesuatu kita dapat dari membaca. Pun terkadang dengan membaca, kita seolah diingatkan kembali esensi dari ibadah kita. Bertambah pula pengetahuan kita tentang amal yang sama yang selama ini mungkin belum kita dapatkan.Menjadi lebih baik lagi perspektif kita untuk melihat lebih dalam dan luas.

6. Berhenti sejenak
Kadang perjalanan yang panjang itu melelahkan. Tanpa sadar mungkin ada pergeseran tujuan dan niat. Kadang kehilangan motivasi juga untuk terus bergerak. Berhenti sejenak mengajarkan kita untuk menarik napas dalam dan mengamati apa yang selama ini sudah kita lakukan. Sebuah momen yang perlu untuk tak sekedar bermuhasabah, tapi juga menyusun kembali langkah-langkah yang mulai berserakan, memompa lagi semangat yang mulai pudar dan lebih mematangkan lagi perencanaan2 yang masih dini atau sudah setengah berjalan

Mau tidak mau, muslim maupun non muslim sebetulnya semuanya dituntut untuk profesional dalam melakukan apa pun. Tapi sangat disayangkan jika agama yang mulia ini sudah mengajarkan kita untuk profesional dan ihsan dalam amal, kita tidak mau mencoba untuk mengusahakannya. 

Bahkan, Nabi Musa saja dalam menyampaikan peringatan kepada Fir'aun perlu profesional dalam berbicara meskipun Nabi Musa sendiri punya kekurangan dalam hal berbicara. Tetap tenang dan jangan gamang. Kita punya do'a sebagai senjata agar diberi kemudahan. Lihatlah, Nabi kita tersebut berdo'a kepada Allah sampai-sampai do'anya termaktub dalam surat Thaha ayat 25-28

"Dia (Musa) berkata, "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku. dan mudahkanlah urusanku. dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. agar mereka mengerti perkataanku."


Referensi dan inspirasi:
1.Al-Qur'an dan terjemahannya
2.Hadits arba'in An-Nawawi dalam kitab Al-Wafi 
3.Fiqh Prioritas -Sayyid Quthb
4.Menikmati Demokrasi -Anis Matta
5.Pengantar Anis Matta dalam buku Panduan Tadabbur dan Meraih Sukses dengan Al-Qur'an yang saya temukan dari seorang teman di tumblr


Posted on Sabtu, Februari 28, 2015 by Unknown

No comments

Minggu, 22 Februari 2015

Belajar dari Bocah Penjinak Angin


Oleh: Mahdiah Maimunah, PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


 


Aku mencengkram buluh dan kabel, menunggu datangnya keajaiban. Akhirnya saat itu tiba, awalnya hanya terlihat sepercik cahaya yang berpijar di tanganku, kemudian muncul sebuah gelombang cahaya yang megah. Orang-orang di bawah terkesiap, anak-anak saling dorong agar dapat melihat lebih jelas.

"Ternyata berhasil!" seseorang berkata.

"ya," kata yang lain. "Anak itu sudah berhasil melakukannya."

Saat itu di Malawi tahun 2002 seolah merupakan mimpi buruk bagi masyarakat di tenggara Afrika tersebut. Bencana banjir yang diikuti oleh kekeringan menyebabkan rakyatnya yang sebagian besar memperoleh makanan dengan bertani, menderita kelaparan. Tragisnya kejadian itu sampai membunuh ribuan orang. Untuk mendapatkan makanan saja, ada yang rela setiap harinya menjadi ganyu -pekerja- untuk melakukan apa saja, menjual seluruh isi perabotan rumahnya, bahkan mereka terpaksa memakan gaga -kulit jagung, red-. Banyak di antara mereka yang paginya keluar mencari makan untuk keluarganya, tiba-tiba saja mati bergelimpangan di tengah jalan. Kondisi yang sangat memilukan. Seorang bocah pun terpaksa putus sekolah karena ayahnya tak mampu membiayai uang sekolahnya.

Di negeri itu, sungguh bersekolah merupakan kegiatan yang sangat langka. Ilmu pengetahuan masih di anggap sebagai misteri. Namun sang bocah bercita-cita untuk membangun kincir angin yang berfungsi membangkitkan listrik dan mengalirkan air ke ladang orang tuanya agar dapat panen dua kali dalam setahun. Modal bocah kecil berusia 14 tahun ini sesungguhnya hanyalah pengetahuan listrik dasar yang diketahuinya dari buku-buku di perpustakaan sekolah -ia masih belajar di perpustakaan setelah putus sekolah- seperti : Integrated Science dan Explaining Physics. Namun buku yang paling mengubah kehidupannya adalah buku dengan cover kincir angin yang berjudul: "Using Energy". Selain itu, modal lainnya adalah barang-barang bekas yang ia temukan di sana sini, mulai dari rongsokan alat-alat berat yang ia temukan di seberang Sekolah Menengah Kachokolo -tempat terakhir sebelum putus sekolah-, sepeda tua ayahnya sampai tali jemuran ibunya.

Kincir angin buatannya akhirnya mampu memberikan anugrah tersendiri untuknya. Selain ia berhasil membangkitkan listrik yang dinikmati oleh 2 % penduduk Malawi, ia pun mampu membiayai pendidikan temannya Gilbert -yang selalu ada di saat William membutuhkan-, sepupunya Geoffrey dan beberapa anak tetangganya. Hal yang paling menyenangkan adalah saat berita mengenai magetsi a mphepo -mesin listrik- ini tersebar ke luar Malawi dan ia akhirnya bisa berkeliling dunia dan memperoleh beasiswa di ALA (African Leadership Academy), sebuah sekolah menengah atas pan-Afrika di Johansburg Afrika Selatan. 

Sebuah kisah nyata (diringkas dari novel: Bocah Penjinak Angin)  ini sungguh menyadarkan kita semua bahwa siapa pun kita, berapa pun usianya, bermacam watak dan juga profesinya, kita mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk negara kita, bukan sekedar angan-angan belaka. Sudah terlalu banyak permasalahan di negeri ini, jangan ditambah lagi dengan terus-terusan menyalahkan  penyebab dari semua permasalahan, siapa otaknya, mereview berulang2 kronologisnya dan perbuatan serupa yang melelahkan. Biarlah yang lalu-lalu dijadikan pembelajaran sekilas dan memotivasi kita untuk menyelesaikannya. 

Lihatlah bocah bernama William Kamkwamba ini. Ia tahu bahwa penyebab putusnya ia sekolah adalah karena permasalahan kelaparan, buruknya pemerintahan, dan jeleknya sistem pendidikan di negaranya. Tapi ia tidak terus-terusan berpikir bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Ia masih terus bermimpi dan mematiskan harapannya terkabul bersama gerakannya. Mulailah ia berpikir bahwa ia dapat membuat kincir angin yang nantinya bisa mengairi ladang ayahnya. Dengan itu, ia berharap semoga ayahnya bisa panen dua kali dalam setahun dan uangnya bisa digunakan membiayai sekolahnya. Sederhana saja. Tak perlu susah-susah untuk bergerak.

Seperti kata Ustadz Anis Matta, "Yang membedakan antara seorang pahlawan dan bukan pahlawan itu adalah geraknya."

Dan bila kita menyadari kemuliaan agama ini, bukankah setiap apapun amalan kita yang dilandasi untuk mencari keridhoan Allah adalah sesuatu yang bernilai pahala??? Enak dong sebenarnya... kita bisa mengumpulkan pahala tanpa batas. Karena memang luasnya medan kompetisi itu tidak berbatas, kecuali oleh batasan kebaikan itu sendiri. 

Yok, yok, yook... Kita lihat... Pagi-pagi, kita beranjak dari pembaringan, lalu membaca do'a usai bangun tidur. Lalu menyikat gigi dan berwudhu', shalat, tilawah, do'a, kemudian membereskan rumah, mandi, sarapan, berangkat sekolah/kampus, keluar rumah, naik kendaraan, belajar dst,dst....
Jika semuanya berlandaskan niat karena Allah, akan terlihat seperti rangkaian amalan yang tiada putusnya. Subhanallah ya... sesuatu....

Tapi, mesti diingat juga sebagai orang muslim, Muslim yang baik adalah Muslim yang banyak manfaatnya bagi orang lain. Analogi antara orang yang hidup untuk dirinya sendiri dan hidup untuk orang lain, menurut Sayyid Quthb adalah seperti orang kerdil dan orang besar. Lebih lanjut beliau mengatakan, "Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan menjadi orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan menjadi orang besar dan mati sebagai orang besar."

Kalau dilihat-lihat di masa sekarang, memang kita lebih banyak menemukan orang yang hidup untuk dirinya sendiri. Ya, duniaku duniaku, duniamu terserah kamu.

Padahal di dalam islam sendiri, tingkatan tertinggi dalam persaudaraan adalah itsar, alias mendahulukan kepentingan saudaranya dibandingkan kepentingannya sendiri. Ada wujud kepedulian di sana. Contohnya, kepedulian terhadap kasus kelaparan atau bencana misalnya. Maka seyogyanya kepedulian kita tersebut diiringi dengan langkah nyata. Bukan hanya sekedar berkata "Innalillahi, kasihan ya.... Alhamdulillah kita ngga ditimpa bencana seperti itu." Tapi wujud yang lebih aslinya adalah dilihat dari tindakan kita. Dengan mengeluarkan beberapa lembar dari dompet, menggelar aksi pengumpulan dana, dll sebagainya...

Sebenarnya sih, kalau kita mau lebih peka, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Misalnya,

1.  Membangun perpustakaan mini untuk orang-orang di sekitar rumah
2. Buat mading, buletin jum'at dan bacaan yang membangun. Bisa ditempel di papan pengumuman masjid
3.  Buat kelompok hafalan untuk anak-anak yatim atau anak-anak di tempat kita bermukin. Bisa juga dengar mengajar ngaji, dst. Usahanak kita juga menyisipkan cerita-cerita inspiratif, seperti kepahlawanan tokoh-tokoh islam, ilmuwan islam, kepribadian nabi, dllnya. Sehingga mereka menyadari bahwa sesungguhnya islam itu benar2 melekat di hati mereka
4.   Mengikuti berbagai perlombaan. InsyaAllah dapat mengharumkan nama islam.
5. Untuk yang mengikuti organisasi intra kampus/sekolah, usahakan untuk selalu memberikan-memberikan ide-ide dan solusi terbaik, sehingga pendapat kita turut dipertimbangkan dan lebih mudah menjalankan misi-misi keislaman.
6. Bisnis apa saja, asal halal. Sebenarnya apa saja bisa dijadikan bisnis. Mulailah dari bisnis yang kecil-kecilan, seperti menjual pembatas buku, pin, kaos kaki, pulsa, dllnya. Seperti misalnya untuk membuat pembatas buku, tidak memerlukan modal yang mahal, bisa dibuat dari bekas undangan pernikahan. Tentunya setelah itu, jangan lupa memberikan sedekahnya untuk perkembangan islam.
7.  Sumbangkan program kerja yang bermanfaat buat siapa saja.
8.  Membuat buku, artikel, dll. 
9.  Memperbanyak sosialisasi

"Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama." Itulah sekelumit penjelasan dari Ustadz Anis Matta tentang kepribadian seorang pahlawan.

So, tak ada alasan untuk tidak berbuat kan....??? Karena semua masalah di sekeliling kita bisa disulap melalui tangan-tangan kita :D Keterbatasan itu bukan hambatan, karena Kamkwamba saja bisa menjadi emas berharga dalam kondisi negaranya yang kritis. Kenapa kita tidak???


Posted on Minggu, Februari 22, 2015 by Unknown

No comments