Belajar dari Bocah Penjinak Angin
Oleh: Mahdiah Maimunah, PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
"Ternyata
berhasil!" seseorang berkata.
"ya," kata
yang lain. "Anak itu sudah berhasil melakukannya."
Saat itu di Malawi tahun
2002 seolah merupakan mimpi buruk bagi masyarakat di tenggara Afrika tersebut.
Bencana banjir yang diikuti oleh kekeringan menyebabkan rakyatnya yang sebagian
besar memperoleh makanan dengan bertani, menderita kelaparan. Tragisnya
kejadian itu sampai membunuh ribuan orang. Untuk mendapatkan makanan saja, ada yang
rela setiap harinya menjadi ganyu -pekerja- untuk melakukan apa saja, menjual
seluruh isi perabotan rumahnya, bahkan mereka terpaksa memakan gaga -kulit
jagung, red-. Banyak di antara mereka yang paginya keluar mencari makan untuk
keluarganya, tiba-tiba saja mati bergelimpangan di tengah jalan. Kondisi yang
sangat memilukan. Seorang bocah pun terpaksa putus sekolah karena ayahnya tak
mampu membiayai uang sekolahnya.
Di negeri itu, sungguh
bersekolah merupakan kegiatan yang sangat langka. Ilmu pengetahuan masih di
anggap sebagai misteri. Namun sang bocah bercita-cita untuk membangun kincir
angin yang berfungsi membangkitkan listrik dan mengalirkan air ke ladang orang
tuanya agar dapat panen dua kali dalam setahun. Modal bocah kecil berusia 14
tahun ini sesungguhnya hanyalah pengetahuan listrik dasar yang diketahuinya
dari buku-buku di perpustakaan sekolah -ia masih belajar di perpustakaan
setelah putus sekolah- seperti : Integrated Science dan Explaining Physics.
Namun buku yang paling mengubah kehidupannya adalah buku dengan cover kincir
angin yang berjudul: "Using Energy". Selain itu, modal lainnya adalah
barang-barang bekas yang ia temukan di sana sini, mulai dari rongsokan
alat-alat berat yang ia temukan di seberang Sekolah Menengah Kachokolo -tempat terakhir
sebelum putus sekolah-, sepeda tua ayahnya sampai tali jemuran ibunya.
Kincir angin buatannya
akhirnya mampu memberikan anugrah tersendiri untuknya. Selain ia berhasil
membangkitkan listrik yang dinikmati oleh 2 % penduduk Malawi, ia pun mampu membiayai
pendidikan temannya Gilbert -yang selalu ada di saat William membutuhkan-,
sepupunya Geoffrey dan beberapa anak tetangganya. Hal yang paling menyenangkan
adalah saat berita mengenai magetsi a mphepo -mesin listrik- ini tersebar ke
luar Malawi dan ia akhirnya bisa berkeliling dunia dan memperoleh beasiswa di
ALA (African Leadership Academy), sebuah sekolah menengah atas pan-Afrika di
Johansburg Afrika Selatan.
Sebuah kisah nyata
(diringkas dari novel: Bocah Penjinak Angin) ini sungguh menyadarkan kita
semua bahwa siapa pun kita, berapa pun usianya, bermacam watak dan juga
profesinya, kita mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk negara kita,
bukan sekedar angan-angan belaka. Sudah terlalu banyak permasalahan di negeri
ini, jangan ditambah lagi dengan terus-terusan menyalahkan penyebab dari
semua permasalahan, siapa otaknya, mereview berulang2 kronologisnya dan
perbuatan serupa yang melelahkan. Biarlah yang lalu-lalu dijadikan pembelajaran
sekilas dan memotivasi kita untuk menyelesaikannya.
Lihatlah bocah bernama
William Kamkwamba ini. Ia tahu bahwa penyebab putusnya ia sekolah adalah karena
permasalahan kelaparan, buruknya pemerintahan, dan jeleknya sistem pendidikan
di negaranya. Tapi ia tidak terus-terusan berpikir bahwa itu adalah akhir dari
segalanya. Ia masih terus bermimpi dan mematiskan harapannya terkabul bersama
gerakannya. Mulailah ia berpikir bahwa ia dapat membuat kincir angin yang
nantinya bisa mengairi ladang ayahnya. Dengan itu, ia berharap semoga ayahnya
bisa panen dua kali dalam setahun dan uangnya bisa digunakan membiayai
sekolahnya. Sederhana saja. Tak perlu susah-susah untuk bergerak.
Seperti kata Ustadz Anis
Matta, "Yang membedakan antara seorang pahlawan dan bukan pahlawan itu
adalah geraknya."
Dan bila kita menyadari
kemuliaan agama ini, bukankah setiap apapun amalan kita yang dilandasi untuk
mencari keridhoan Allah adalah sesuatu yang bernilai pahala??? Enak dong
sebenarnya... kita bisa mengumpulkan pahala tanpa batas. Karena memang luasnya
medan kompetisi itu tidak berbatas, kecuali oleh batasan kebaikan itu
sendiri.
Yok, yok, yook... Kita
lihat... Pagi-pagi, kita beranjak dari pembaringan, lalu membaca do'a usai
bangun tidur. Lalu menyikat gigi dan berwudhu', shalat, tilawah, do'a, kemudian
membereskan rumah, mandi, sarapan, berangkat sekolah/kampus, keluar rumah, naik
kendaraan, belajar dst,dst....
Jika semuanya
berlandaskan niat karena Allah, akan terlihat seperti rangkaian amalan yang
tiada putusnya. Subhanallah ya... sesuatu....
Tapi, mesti diingat juga
sebagai orang muslim, Muslim yang baik adalah Muslim yang banyak manfaatnya
bagi orang lain. Analogi antara orang yang hidup untuk dirinya sendiri dan
hidup untuk orang lain, menurut Sayyid Quthb adalah seperti orang kerdil dan
orang besar. Lebih lanjut beliau mengatakan, "Orang yang hidup bagi
dirinya sendiri akan menjadi orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan
tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan menjadi orang besar dan mati
sebagai orang besar."
Kalau dilihat-lihat di
masa sekarang, memang kita lebih banyak menemukan orang yang hidup untuk
dirinya sendiri. Ya, duniaku duniaku, duniamu terserah kamu.
Padahal di dalam islam
sendiri, tingkatan tertinggi dalam persaudaraan adalah itsar, alias
mendahulukan kepentingan saudaranya dibandingkan kepentingannya sendiri. Ada
wujud kepedulian di sana. Contohnya, kepedulian terhadap kasus kelaparan atau
bencana misalnya. Maka seyogyanya kepedulian kita tersebut diiringi dengan
langkah nyata. Bukan hanya sekedar berkata "Innalillahi, kasihan ya....
Alhamdulillah kita ngga ditimpa bencana seperti itu." Tapi wujud yang
lebih aslinya adalah dilihat dari tindakan kita. Dengan mengeluarkan beberapa
lembar dari dompet, menggelar aksi pengumpulan dana, dll sebagainya...
Sebenarnya sih, kalau
kita mau lebih peka, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk orang-orang
di sekitar kita. Misalnya,
1. Membangun perpustakaan mini untuk orang-orang di sekitar rumah
2. Buat mading, buletin jum'at dan bacaan yang membangun. Bisa
ditempel di papan pengumuman masjid
3. Buat kelompok hafalan untuk anak-anak yatim atau anak-anak di
tempat kita bermukin. Bisa juga dengar mengajar ngaji, dst. Usahanak kita juga
menyisipkan cerita-cerita inspiratif, seperti kepahlawanan tokoh-tokoh islam,
ilmuwan islam, kepribadian nabi, dllnya. Sehingga mereka menyadari bahwa
sesungguhnya islam itu benar2 melekat di hati mereka
4. Mengikuti berbagai perlombaan. InsyaAllah dapat mengharumkan nama
islam.
5. Untuk yang mengikuti organisasi intra kampus/sekolah, usahakan
untuk selalu memberikan-memberikan ide-ide dan solusi terbaik, sehingga
pendapat kita turut dipertimbangkan dan lebih mudah menjalankan misi-misi
keislaman.
6. Bisnis apa saja, asal halal. Sebenarnya apa saja bisa dijadikan
bisnis. Mulailah dari bisnis yang kecil-kecilan, seperti menjual pembatas buku,
pin, kaos kaki, pulsa, dllnya. Seperti misalnya untuk membuat pembatas buku,
tidak memerlukan modal yang mahal, bisa dibuat dari bekas undangan pernikahan.
Tentunya setelah itu, jangan lupa memberikan sedekahnya untuk perkembangan
islam.
7. Sumbangkan program kerja yang bermanfaat buat siapa saja.
8. Membuat buku, artikel, dll.
9. Memperbanyak sosialisasi
"Mereka hanya
manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan
yang terbaik bagi orang-orang sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil
menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang
lama." Itulah sekelumit penjelasan dari Ustadz Anis Matta tentang
kepribadian seorang pahlawan.
So, tak ada alasan untuk
tidak berbuat kan....??? Karena semua masalah di sekeliling kita bisa disulap
melalui tangan-tangan kita :D Keterbatasan itu bukan hambatan, karena Kamkwamba
saja bisa menjadi emas berharga dalam kondisi negaranya yang kritis. Kenapa
kita tidak???
0 komentar:
Posting Komentar