Resume by : Popon Patonah
TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN
IYYAKA NA’BUDU
WA IYYAKA NASTA’IN
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
IYYAKA NA’BUDU
WA IYYAKA NASTA’IN
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
1. Mahabbah
Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan,
yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh.
Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan,
yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh.
Sebab-sebab Yang Mendatangkan Cinta kepada Allah
1. Membaca Al-Qur’an dengan mendalami dan memahami makna maknanya, seperti yang dikehendaki, tak berbeda dengan menelaah buku yang harus dihapalkan seseorang, agar dia dapat memahami maksud pengarangnya.
2. Taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan shalat-shalat nafilah sete-lah shalat fardhu,
3. Senantiasa mengingat dan menyebut asma-Nya dalam keadaan bagaimana pun, baik dengan lisan dan hati, saat beramal dan di setiap keadaan.
4. Lebih mementingkan cinta kepada-Nya daripada cintamu pada saat engkau dikalahkan bisikan hawa nafsu
5. Mengarahkan perhatian hati kepada asma’ dan sifat-sifat Allah, mempersaksikan dan mengetahuinya.
6. Mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang zhahir maupun yang batin,
7. Kepasrahan hati secara total di hadapan Allah.
8. Bersama Allah pada saat Dia turun ke langit dunia, bermunajat kepada- Nya, membaca kalam-Nya, menghadap dengan segenap hati, memperhatikan adab-adab ubudiyah di hadapan-Nya, kemudian menutup dengan istighfar dan taubat.
9. Berkumpul bersama orang-orang yang juga mencintai-Nya secara tulus,
10. Menyingkirkan segala sebab yang dapat membuka jarak antara hati dan Allah.
1. Membaca Al-Qur’an dengan mendalami dan memahami makna maknanya, seperti yang dikehendaki, tak berbeda dengan menelaah buku yang harus dihapalkan seseorang, agar dia dapat memahami maksud pengarangnya.
2. Taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan shalat-shalat nafilah sete-lah shalat fardhu,
3. Senantiasa mengingat dan menyebut asma-Nya dalam keadaan bagaimana pun, baik dengan lisan dan hati, saat beramal dan di setiap keadaan.
4. Lebih mementingkan cinta kepada-Nya daripada cintamu pada saat engkau dikalahkan bisikan hawa nafsu
5. Mengarahkan perhatian hati kepada asma’ dan sifat-sifat Allah, mempersaksikan dan mengetahuinya.
6. Mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang zhahir maupun yang batin,
7. Kepasrahan hati secara total di hadapan Allah.
8. Bersama Allah pada saat Dia turun ke langit dunia, bermunajat kepada- Nya, membaca kalam-Nya, menghadap dengan segenap hati, memperhatikan adab-adab ubudiyah di hadapan-Nya, kemudian menutup dengan istighfar dan taubat.
9. Berkumpul bersama orang-orang yang juga mencintai-Nya secara tulus,
10. Menyingkirkan segala sebab yang dapat membuka jarak antara hati dan Allah.
2. Cemburu
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam bersabda,: “Sesungguhnya Allah itu cemburu dan sesungguhnya orang Mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika hamba melakukan apa yang diharamkan-Nya.”
Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam bersabda,: “Sesungguhnya Allah itu cemburu dan sesungguhnya orang Mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika hamba melakukan apa yang diharamkan-Nya.”
Cemburu ada dua macam: Cemburu dari sesuatu dan cemburu terhadap
sesuatu. Cemburu dari sesuatu ialah kebencianmu kepada sesuatu yang
bersekutu dalam mencintai kekasihmu. Sedangkan cemburu terhadap sesuatu
ialah hasratmu yang menggebu terhadap kekasih, sehingga engkau merasa
takut andaikan orang lain beruntung mendapatkannya atau ada orang lain
yang bersekutu untuk mendapatkannya.
Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar As-Sary berkata, “Rindu
merupakan kedudukan yang mulia bagi orang yang memiliki ma’rifat. Jika
dia dapat mewujudkan kerinduan itu, maka perhatiannya hanya tertuju
kepada siapa yang dia rindukan. Karena itu para penghuni surga
senantiasa merindukan Allah, sekalipun mereka dekat dan dapat melihat-
Nya.”
3. Rindu
Allah befirman berkaitan dengan tempat persinggahan ini,”Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan Allah itu pasti datang.” (Al-Ankabut: Ada yang berpendapat, ini merupakan hiburan bagi orang-orang yang rindu. Dengan kata lain, Aku tahu bahwa siapa yang mengharap perjumpaan dengan-Ku, berarti dia rindu kepada-Ku. Aku telah mempercepat waktu baginya sehingga terasa dekat, dan waktu itu pasti akan datang. Sebab segala sesuatu yang akan datang itu dekat.
Cinta lebih tinggi daripada rindu, sebab rindu muncul dari cinta. Kuat dan lemahnya rindu ini tergantung kepada cinta.
Al-Junaid berkata, “Aku pernah mendengar As-Sary berkata, “Rindu
merupakan kedudukan yang mulia bagi orang yang memiliki ma’rifat. Jika
dia dapat mewujudkan kerinduan itu, maka perhatiannya hanya tertuju
kepada siapa yang dia rindukan. Karena itu para penghuni surga
senantiasa merindukan Allah, sekalipun mereka dekat dan dapat melihat- Nya.”
senantiasa merindukan Allah, sekalipun mereka dekat dan dapat melihat- Nya.”
4. Keresahan
Kerinduan ini bisa menjadi-jadi dan terbebas dari kesabaran, yang kemudian disebut keresahan. Begitulah sebutan yang diberikan pengarang Manazilus-Sa’irin. Hal ini dikuatkannya dengan firman Allah yang mengisahkan Musa Alaihis-Salam, yang berkata, “Aku bersegera kepada-Mu, ya Rabbi, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha: 84).
Kerinduan ini bisa menjadi-jadi dan terbebas dari kesabaran, yang kemudian disebut keresahan. Begitulah sebutan yang diberikan pengarang Manazilus-Sa’irin. Hal ini dikuatkannya dengan firman Allah yang mengisahkan Musa Alaihis-Salam, yang berkata, “Aku bersegera kepada-Mu, ya Rabbi, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha: 84).
Seakan-akan Syaikh memahami, bahwa Musa bersegera karena didorong
oleh keresahan hati, yaitu membebaskan kerinduan dengan bertemu Allah.
Tapi menurut zhahir ayat ini, bahwa yang mendorong musa tergesa-gesa
ialah karena mencari keridhaan-Nya, dan keridhaan Allah muncul jika
segera melaksanakan perintah-Nya. Karena ayat inilah orang-orang salaf
berhujjah bahwa shalat pada awal waktu itu lebih afdhal.
5. Haus
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Haus merupakan kiasan tentang kesukaan yang berat terhadap sesuatu yang diharapkan.”
Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Haus merupakan kiasan tentang kesukaan yang berat terhadap sesuatu yang diharapkan.”
6. Albarqu
Al-Barqu atau kilat merupakan salah satu cahaya iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang menerangi hamba saat masuk ke jalan orangorang yang benar. Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Kilat merupakan awal kilauan yang tampak di hadapan hamba, lalu mengajaknya untuk masuk ke jalan ini.” Syaikh menguatkan hal ini dengan firman Allah, “Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu ia berkata kepada keluarganya, ‘Tinggallah kamu (di sini) sesung-guhnya aku melihat api’.” (Thaha: 9-10).
Al-Barqu atau kilat merupakan salah satu cahaya iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang menerangi hamba saat masuk ke jalan orangorang yang benar. Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Kilat merupakan awal kilauan yang tampak di hadapan hamba, lalu mengajaknya untuk masuk ke jalan ini.” Syaikh menguatkan hal ini dengan firman Allah, “Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu ia berkata kepada keluarganya, ‘Tinggallah kamu (di sini) sesung-guhnya aku melihat api’.” (Thaha: 9-10).
7. Memperhatikan
Syaikh berkata, “Memperhatikan artinya melihat secara sepintas lalu.” Artinya memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab: Pengagungan dan keagungan yang dipandang, sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para shahabat terhadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajam terhadap beliau, sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Arar bin Al-Ash berkata, “Aku tidak pernah memandang secara utuh ke arah beliau, sebagai pengagungan terhadap beliau. Jika aku diminta untuk mensifati diri beliau, maka aku tidak akan mampu, karena aku tidak pernah memandang beliau secara sempurna.”
Syaikh berkata, “Memperhatikan artinya melihat secara sepintas lalu.” Artinya memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab: Pengagungan dan keagungan yang dipandang, sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan ke arahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para shahabat terhadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajam terhadap beliau, sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Arar bin Al-Ash berkata, “Aku tidak pernah memandang secara utuh ke arah beliau, sebagai pengagungan terhadap beliau. Jika aku diminta untuk mensifati diri beliau, maka aku tidak akan mampu, karena aku tidak pernah memandang beliau secara sempurna.”
8. Waktu
Waktu menurut Syaikh merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah temporal yang di dalamnya ada kejadian.
Waktu menurut Syaikh merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah temporal yang di dalamnya ada kejadian.
Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq, waktu adalah sesuatu yang engkau ada di
dalamnya. Jika engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Jika engkau
berada di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Jika engkau berada dalam
kegembiraan, maka waktumu adalah kegembiraan. Jika
engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan itu. Artinya, waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia. Atau bisa juga diartikan, bahwa waktu adalah apa yang ada di antara dua masa, lampau dan mendatang. Ini merupakan istilah yang lebih sering mereka
gunakan, Maka mereka berkata, “Orang sufi dan orang fakir adalah anak waktunya.” Artinya, hasrat yang dimiliki seorang hamba tidak melebihi tugasnya untuk mengisi hidupnya. Inilah yang paling penting dan paling bermanfaat baginya. Dia dituntut melakukan apa yang ada pada saat itu pula, tidak perlu memperhatikan yang sudah lampau dan mendatang. Dia cukup memperhatikan waktu yang ada. Karena memperhatikan waktu dan yang lampau mendatang hanya akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika datang suatu waktu, maka dia harus meninggalkan dua sisi waktu itu, agar semua waktunya dapat ditinggalkan.14
engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan itu. Artinya, waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia. Atau bisa juga diartikan, bahwa waktu adalah apa yang ada di antara dua masa, lampau dan mendatang. Ini merupakan istilah yang lebih sering mereka
gunakan, Maka mereka berkata, “Orang sufi dan orang fakir adalah anak waktunya.” Artinya, hasrat yang dimiliki seorang hamba tidak melebihi tugasnya untuk mengisi hidupnya. Inilah yang paling penting dan paling bermanfaat baginya. Dia dituntut melakukan apa yang ada pada saat itu pula, tidak perlu memperhatikan yang sudah lampau dan mendatang. Dia cukup memperhatikan waktu yang ada. Karena memperhatikan waktu dan yang lampau mendatang hanya akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika datang suatu waktu, maka dia harus meninggalkan dua sisi waktu itu, agar semua waktunya dapat ditinggalkan.14
Dalam kaitannya dengan waktu, mereka membagi orang sufi menjadi
empat golongan
empat golongan
Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada
dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukum aza-ly tidak
bisa dirubah oleh usaha hamba. Sekalipun begitu mereka tetap rajin
melaksanakan perintah, menjauhi larangan, bertaqarrub kepa-da Allah
dengan berbagai macam ketaatan, sekalipun mereka tidak begitu yakin akan
semua itu.
Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya
tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal
diukur dari kesudahannya. Padahal apa yang terjadi nanti tidak bisa
diketahui. Berapa banyak musim semi yang membuat pepohonan berbinar,
bunga-bunganya merekah, buah-buahnya ranum, tapi be-gitu cepat pepohonan
itu ditimpa bencana dari langit tanpa diduga-duga, sehingga keadaannya
seperti yang difirmankan Allah, “Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya
mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya
adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan
(tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit,
seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan
tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orangyang berpikir.” (Yunus:
24).
Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Mereka tidak rnenyibuk-kan
diri dengan waktu yang lampau dan tidak pula dengan waktu yang akan
datang. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan
hukum-hukumnya. Mereka berkata, “Orang yang arif ialah yang menjadi anak
waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang.”
Orang-orang yang bersama pemilik waktu dan saat, penguasa dan yang
menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu
sendiri.
9. Kejernihan
Allah befirman kaitannya dengan persinggahan ini, “Dan, sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shad: 47) Shafa’ artinya terbebas dari kekeruhan atau jernih. Sedangkan dalam pembahasan ini berarti gugurnya keragu-raguan. Sisi pelandasannya kepada ayat di atas, bahwa kata mushthafa (pilihan) yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan bentukan dari shafwah (jernih atau bersih). Artinya saringan sesuatu dan membersihkannya dari hal-hal yang mengotorinya.
Allah befirman kaitannya dengan persinggahan ini, “Dan, sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shad: 47) Shafa’ artinya terbebas dari kekeruhan atau jernih. Sedangkan dalam pembahasan ini berarti gugurnya keragu-raguan. Sisi pelandasannya kepada ayat di atas, bahwa kata mushthafa (pilihan) yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan bentukan dari shafwah (jernih atau bersih). Artinya saringan sesuatu dan membersihkannya dari hal-hal yang mengotorinya.
10. Kegembiraan
Sedangkan kegembiraan adalah kelezatan yang ada di dalam hati karena mengetahui yang dicintai dan mendapatkan apa yang diingin-kan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan yang disebut kegembiraan dan kesenangan, sebagaimana kesedihan dan kedukaan karena kehilangan yang dicintai. Jika kehilangan yang dicintai ini menimbulkan kesedihan dan kedukaan, maka mengingat karunia dan rahmat Allah mendatangkan kegembiraan. Firman-Nya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu perjalanan dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
Sedangkan kegembiraan adalah kelezatan yang ada di dalam hati karena mengetahui yang dicintai dan mendapatkan apa yang diingin-kan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan yang disebut kegembiraan dan kesenangan, sebagaimana kesedihan dan kedukaan karena kehilangan yang dicintai. Jika kehilangan yang dicintai ini menimbulkan kesedihan dan kedukaan, maka mengingat karunia dan rahmat Allah mendatangkan kegembiraan. Firman-Nya, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu perjalanan dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57)
11. Napas
12. Ghurbah
Pengarang Manazilus-Sa ‘irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ghurbah (keasingan), “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orangorang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka.” (Hud: 116).
Pengarang Manazilus-Sa ‘irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ghurbah (keasingan), “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orangorang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka.” (Hud: 116).
Pelandasannya kepada ayat ini dalam masalah ghurbah menunjukkan kedalamannya dalam ilmu
dan ma’rifat serta pemahamannya tentang Al-Qur’an. Orang-orang yang
asing di dunia ini adalah mereka yang disifati dalam ayat di atas dan
mereka yang telah
diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orangorang yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang
yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”
diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orangorang yang asing”. Ada yang bertanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang
yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan.”
Ada tiga macam ghurbah, yaitu:
Ghurbah Pertama: Keasingan orang-orang yang mengikuti Allah dan Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keasingan yang pelakunya dipuji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tentang agama yang dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali menjadi asing seperti permulaannya serta yang pelakunya menjadi asing.
Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keasingan orang-orang yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar dan lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, toh mereka tetap disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi namun tidak dikenal di antara penghuni langit.
Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela. Ini merupakan keasingan karena meninggalkan kampung halaman. Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma,”Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau pengembara.” Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Keasingan merupakan perkara yang diisyaratkan kepada kesendirian tanpa ada yang menyertai.” Artinya, setiap orang yang menyendiri dengan suatu sifat yang mulia, sementara orang lain tidak memilikinya, maka dia adalah orang asing di tengah-tengah mereka.
Ghurbah Pertama: Keasingan orang-orang yang mengikuti Allah dan Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keasingan yang pelakunya dipuji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tentang agama yang dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali menjadi asing seperti permulaannya serta yang pelakunya menjadi asing.
Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keasingan orang-orang yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar dan lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, toh mereka tetap disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi namun tidak dikenal di antara penghuni langit.
Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela. Ini merupakan keasingan karena meninggalkan kampung halaman. Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma,”Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau pengembara.” Pengarang Manazilus-Sa’irin mengatakan, “Keasingan merupakan perkara yang diisyaratkan kepada kesendirian tanpa ada yang menyertai.” Artinya, setiap orang yang menyendiri dengan suatu sifat yang mulia, sementara orang lain tidak memilikinya, maka dia adalah orang asing di tengah-tengah mereka.
13. Tamakkun (kesanggupan hati)
“Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (Ar-Rum:60).
Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas, bahwa orang yang mantap hatinya tidak peduli terhadap banyaknya kesibukan, tidak terusik oleh pergaulannya dengan orang-orang yang lalai dan batil. Bahkan dia menjadi mantap dengan kesabaran dan keyakinannya, sehingga dia tidak gelisah karena tindakan mereka terhadap dirinya. Karena itu Allah befirman sebelumnya,
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu adala benar.” (Ar-Rum: 60).
14. Mukasyafah (pengungkapan)
“Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” (An-Najm: 10). Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah mengungkap kepada hamba-Nya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidak diungkapkan-Nya kepada selain beliau, memperlihatkan apa yang tidak diperlihatkan-Nya kepada selain beliau, hingga hati beliau mendapatkan pengungkapan berbagai macam hakikat, yang tak pernah terlintas di dalam sanubari orang lain, hakikat yang dikhususkan bagi beliau.
15. Musyahadah (menyaksikan)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).Allah menjadikan kalam-Nya sebagai peringatan. Tidak ada yangbisa mengambil manfaat dari kalam-Nya kecuali orang yang bisa menghimpun tiga perkara ini:
• Harus memiliki hati yang hidup dan sadar. Jika tidak, maka dia tida bisa mengambil manfaat dari peringatan.
• Harus menyimak dengan pendengarannya dan menghadapkannya secara keseluruhan kepada lawan bicara. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perkataannya.
• Harus menghadirkan hati dan pikirannya di hadapan orang yang berbicara dengannya. Dengan begitu dia menyaksikan secara langsun atau hadir. Jika hatinya tidak hadir dan melancong ke tempat lain, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraan yang ada.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qaf: 37).Allah menjadikan kalam-Nya sebagai peringatan. Tidak ada yangbisa mengambil manfaat dari kalam-Nya kecuali orang yang bisa menghimpun tiga perkara ini:
• Harus memiliki hati yang hidup dan sadar. Jika tidak, maka dia tida bisa mengambil manfaat dari peringatan.
• Harus menyimak dengan pendengarannya dan menghadapkannya secara keseluruhan kepada lawan bicara. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perkataannya.
• Harus menghadirkan hati dan pikirannya di hadapan orang yang berbicara dengannya. Dengan begitu dia menyaksikan secara langsun atau hadir. Jika hatinya tidak hadir dan melancong ke tempat lain, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraan yang ada.
16. Hayat
“Dan, apakah orang yang sudah mati lalu dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (Al-An’am: 122).
Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas. Maksudnya siapa yang hatinya mati, tidak memiliki ruh ilmu, petunjuk dan iman, maka kemudian Allah menghidupkannya dengan ruh lain, tidak seperti ruh yang diberikan Allah untuk menghidupkan jasadnya, yaitu ruh ma’rifat dan tauhid, cinta dan beribadah kepada-Nya semata tanpa menyekutukan- Nya. Sebab tidak ada kehidupan bagi ruh kecuali yang seperti demikian itu. Jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang mati. Karena itu Allah mensifati orang yang tidak memiliki kehidupan ini sama dengan orang yang sudah mati.
Mu’adz bin Jabal berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah merupakan wujud ketakutan kepada-Nya, mencarinya adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah dan membiayai orang yang berilmu adalah taqarrub. Ilmu merupakan petunjuk yang halal dan yang haram, menara jalan para penghuni surga, teman pada saat takut, rekan saat sendirian, bukti pada saat lapang dan sempit, senjata saat menghadapi musuh dan hiasan di samping teman-teman. Dengan ilmu Allah meninggikan beberapa kaum dan menjadikan mereka pelopor dalam kebaikan dan pemimpin yang jejaknya diikuti. Perbuatan mereka ditiru dan pendapat mereka diandalkan. Para malaikat menyukai perkumpulan mereka dan mengusap dengan sayap-sayapnya. Siapa pun memintakan ampunan bagi mereka, termasuk pula ikan paus di lautan dan binatang buas di daratan. Sebab ilmu merupakan kehidupan hati dari kebodohan dan pelita bagi penglihatan dari kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba bisa mencapai kedudukan yang paling baik dan dera-jat yang tinggi di dunia serta di akhirat. Memikirkan ilmu menyerupai puasa dan mengkajinya menyerupai shalat malam. Dengan ilmu, tali per-saudaraan dapat dijalin, dengan ilmu dapat diketahui mana yang halal dan mana yang haram. Ilmu adalah imam amal dan amal mengikutinya. Orang-orang yang berbahagia diberi ilham ilmu dan orang-orang yang menderita tidak mendapatkannya.” (Diriwayatkan Ath-Thabrany dan Ibnu Abdil- Barr serta lain-lainnya serta dimarfu’kan kepada Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam).
17. Al-Basthu
18. As-Sukru (Mabuk)
19. Ittishal (bersambung)
20. Ma’rifat
“Dan, apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui.”(Al-Maidah: 83).Ma’rifat artinya meliputi sesuatu seperti apa adanya. Saya katakan, bahwa di dalam Al-Qur’ an terkadang disebutkan laf azh ma’ rifat dan adakalanya disebutkan lafazh ilmu. Lafazh ilmu yang banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an memiliki batasan yang relatif lebih luas. Allah memilih bagi Diri-Nya asma Al-Ilmu dan segala kaitannya. Allah mensifati Diri- Nya dengan Al-Alim, Al-Allam, alima, ya’lamu, dan mengabarkan bahwa Dia memiliki ilmu, tanpa menggunakan lafazh ma’rifat. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, apa yang dipilih Allah untuk Diri-Nya adalah yang paling sempurna jenis dan maknanya. Lafazh ma’rifat disebutkan di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan orang-orang Mukmin dari Ahli Kitab secara khusus, seperti firman-Nya yang disebutkan di atas, yaitu orang-orang yang mendengarkan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.
21. Al-Fana’
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 26- 27).
22. Al-Baqa’ (kekal)
“Dan, Allah lebih baik dan lebih kekal.” (Thaha: 73).
23. Wujud
24. Al-Jam’u (penyatuan)
Syaikh berkata, “Al-Jam’u ialah yang menggugurkan pemisahan, memotong isyarat, menutup mata dari air dan tanah, setelah ada kebenaran ketetapan, keanekaragaman dan kesaksian yang mendua. Penyatuan ada tiga derajat: Penyatuan ilmu, penyatuan wujud dan penyatuan diri.”
25. Tauhid
0 komentar:
Posting Komentar