Writing = Show your Feel
Menulis adalah cara paling simple menyuarakan kepekaan hati. Kadang
bagi sebagian besar penulis-seseorang yang suka menulis atau meluangkan
waktunya menulis- menulis lebih nyaman untuk dilakukan daripada
berbicara secara langsung. Tiada batas keseganan yang harus ditatap,
tiada kalut yang menyergap karena tak sigap. Semuanya mengalir.
Ruang menulis menjadi kepuasan tersendiri para pelakonnya, karena
dengan opini dan bukti yang membersamai tulisannya mampu membuka
kebekuan pikiran, membuka kekerasan hati para pembaca. Show your feel
yang dimaksud di sini bukan bentuk ekspresi emosional yang mengalir
tanpa kematangan analisis. Tapi seperti ini: “Kalau saya tidak
menulis, hanya saya sendiri yang tahu betapa peliknya masalah ini
menguasai hajat hidup orang banyak. Kalau saya tidak menulis saya tidak
bias membagi ide saya ke banyak orang. Kalau saya tidak menulis
kebenaran ini bias jadi tak akan terungkap. Kalau saya tidak menulis,
pembelajaran yang saya rasakan hanya bermanfaat buat saya sendiri.”
Bahkan uniknya, menulis bias menjadi sarana refleksi antar aktivis.
Misalnya, dari tulisan yang diposting di ruang public, kita jadi tahu
bahwa wawasan si A sudah sampai sejauh mana, seberapa dalam analisisnya,
seberapa buat bukti referensi yang digunakannya. Sementara tulisan kita
mungkin belum sesistematis yang lain atau bahkan kurang sebaik tulisan
aktivis2 yang lain. Bahkan yang bias jadi membuat kita terpekur, mereka
dengan kapasitas intelektualnya bias menghidupkan suasana kritis melalui
tulisannya sementara kita belum berani menulis atau untuk membaca
berbagai rujukan masih malas.
Dari tulisan ke tulisan: dari rajin-rajin membaca tulisan memudahkan
kita menghasilkan tulisan juga. Bahkan tulisan yang kita buat tak
relative jauh dari tulisan2 yang kit abaca. Ini juga yang semestinya
jadi pelecut kita buat mengisi ruang2 kosong di memori otak kita:
membaca berarti menambah suplemen tsaqafah dan keilmuan dan menulis jadi
pengikatnya. Secara otomatis juga dengan budaya baca tulis –yang
sewajarnya tak cukup semasa SD kita menjadi kenal istilah-istilah baru
yang bias dibilang keren. Lucu saja jika semenjak kecil sampai saat ini
kata-kata yang dikenal hanya bahasa ibu.
Terjun ke dunia mahasiswa, mengikuti berbagai organisasi dan aktif di
dalamnya akhirnya membuat saya menyadari bahwa tulisan-tulisan yang
luar biasa dimulai dari dorongan yang tak pernah putus untuk melakukan
budaya ini. Ada yang menargetkan perharinya mampu menyelesaikan beberapa
tulisan atau beberapa halaman, ada yang memiliki target mingguan dan
variasi jangka target lainnya. Intinya ada keistiqamah dengan budaya
tersebut. Saling sharing dan mengomentari juga menjadi hal penting dalam
peningkatan kapasitas tulisan dan support yang menyenangkan. (cc: KAMMI
Madani dengan GKM/Gerakan KAMMI Menulisnya).
Sebuah pelajaran penting bagi saya dan alasan penting mengapa budaya
menulis harus tetap ada adalah tulisan itu guru yang tidak mengajari
secara mutlak, teman yang mengingatkan dengan cair dan stimulus yang
baik untuk memengaruhi kebekuan. Seperti kisah berbalas tulisan antara
Soekarno dan Natsir. So, show your feel, show your ideas, show your
dream, show your care with your writing.
#MedSosMenulis
(Sabtu, 5 April 2014)
0 komentar:
Posting Komentar