Oleh: Mahdiah Maimunah, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012, Fak. Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Staff departemen Kebijakan Publik KAMMI MedSos.
Islam ngga pernah ngajarin pemeluknya buat beramal biasa-biasa aja. Yang ada malah sebaliknya. Islam mengajarkan penganutnya untuk melakukan sesuatu dengan profesional. Profesionalitas dalam islam dikenal dengan bahasa 'ihsan'.
Coba simak petikan hadits kedua
dalam kitab Al-Wafi tentang definisi mengenai ihsan:
"An ta'budallaha kaannakaa
taroohu fainlam yakun yaroohu fainnahuu yarook."
Artinya:
Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatNya, jika tidak mampu melihatNya sesungguhnya Ia
melihatmu.
Coba dipikir-pikir nih,
seseorang yang beribadah kalau udah seolah-olah melihat Allah berarti
benar-benar totalitas dong. Ngga mungkin lagi ada niat yang ga bener, ngga mungkin juga asal-asalan, ngga mungkin juga nantinya ngga berefek ke
amalan-amalan yang lainnya.
Rangkaian-rangkaian ibadah
harian yang Allah perintahkan sesungguhnya mengajarkan banyak hal terhadap
kerja nyata di keseharian. Misal saja, sholat. Seseorang yang sudah baik dan
benar sholatnya baik dari pre-on-post sholat insyaAllah akan terjamin juga
dalam aktivitas sehari-hari. Jika pre-sholat sudah terbiasa mempersiapkan dan
meniatkan untuk shalat tepat waktu, sudah seharusnya dong seorang muslim bisa
datang dalam berbagai agenda tepat waktu.
Dalam pelaksanaan sholat pun
kita kenal istilah thuma'ninah yang menghendaki agar kita ruku' dan sujud dalam
posisi tulang belakang yang lurus. Ketika thuma'ninah dalam sholat tidak
mungkin sholatnya diburu-buru. Sedangkan secara etiologi, thuma'ninah berarti
tenang. Artinya kita benar-benar menghadirkan diri kita saat shalat.
Shalat melatih konsentrasi.
Memang amat sulit untuk berkonsentrasi secara utuh dari awal hingga akhir
shalat. Tapi saat pikiran kita beralih, kita diminta untuk kembali
berkonsentrasi pada sholat kita. Nah nah.. begitu juga dalam aktivitas lain
bagi seorang muslim. Sudah seharusnya berkonsentrasi dalam belajar, dalam
bekerja, dalam rapat, dan kegiatan lainnya. Bukankah konsentrasi akan
meminimalisir kita untuk bekerja dua kali untuk hal yang sama? Atau memudahkan
langkah-langkah yang selanjutnya? Contohnya berkonsentrasi saat kuliah
memberikan manfaat kita tidak perlu sulit lagi untuk meneruskan bacaan di
berbagai referensi karena konsep-konsep pentingnya sudah kita dapatkan saat
penjelasan dosen. Di samping itu, kita akhirnya bisa diberi kebebasan untuk
meraih lebih banyak kegiatan bermanfaat lain yang kita terlibat di dalamnya
atau untuk meningkatkan kualitas diri kita.
Bahkan, dalam buku Fiqh
Prioritas karya Sayyid Quthb, tidak diperkenankan bagi seorang muslim untuk
melakukan ibadah malam berlama-lama jika menjadikannya loyo-loyoan saat bekerja
di siang harinya. Pekerjaan yang ia lakukan juga membutuhkan profesionalitas.
Ketika pelayanan yang diberikan kepada orang banyak menjadi tidak maksimal,
berarti seseorang tersebut tidak berlaku secara profesional. Gaji bulanannya
pun patut dipertanyakan akibat ketidak optimalan kerjanya.
Tautan antara ibadah dan amal
nyata dalam aktivitas sehari-hari sudah semestinya dipikirkan filosofinya. Shalat
bukan sekedar shalat, ngaji jangan sekedar ngaji, zakat juga jangan
sembarangan, haji apalagi.
Shalat dikatakan sebagai ibadah
yang outputnya diharapkan dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Cobalah
dilirik-lirik ke dalam diri kita. Apa kita masih suka berbuat demikian? Keji
dan mungkar jangan di-mention sebagai
tindakan kriminal yang kejam-kejam saja atau yang sudah kelas berat. Hal-hal
sederhana seperti berbohong, mencontek, menolak memberi bantuan juga termasuk
di antaranya.
Begitu pun mengaji. Sangat
disayangkan jika kita hanya membacanya sebagai objek bisu yang tidak memberikan
kita pencerahan dalam keseharian kita. Al-Qur'an itu GUIDLINE. Panduan lho.
Gimana caranya hidup kita mau luar biasa kalau patokannya bukan Al-Qur'an.
Apalagi Al-Qur'an itu bukan sekedar guidline untuk kehidupan dunia, tapi juga
menuju akhirat.
Ada petikan menarik dari ustadz
Anis Matta dalam pengantar buku Khalid bin Abdul Karim Al-lahim "Panduan
Tadabbur dan Meraih Sukses dengan Al-Qur'an"
Al-Qur'an yang kita baca
sekarang kita baca adalah juga Al-Qur'an yang dulu diturunkan kepada sahabat
Rasulullah saw bukan Al-Qur'an yang lain. Lalu bagaimana dengan kemampuan akal
dan jiwa kita? Di sini pun sesungguhnya tidak terdapat perbedaan antara kita
dan generasi sahabat. Sebab, seandainya kemampuan jiwa dan akal untuk memahami
Al-Qur'an lebih rendah dibandingkan dengan kemampuan generasi sahabat, tentu
Allah akan menurunkan Al-Qur'an, atau minimal revisi bahasa Al-Qur'an, untuk
disesuaikan dengan kapasitas jiwa dan intelektual kita. Tapi itu tidak terjadi.
Begitulah. Islam mengajarkan
pribadi-pribadinya untuk berlaku secara professional. Beberapa tips berikut
semoga bisa membantu kita untuk beraktivitas secara profesional
1. Pikirkan apa yang akan
kita lakukan atau buat perencanaan.
Mulai dari perencanaan harian,
mingguan, bulanan, tahunan, perlima tahunan dan proyek besar lainnya. Bisa juga
dibuat dalam format per-kegiatan. Misalnya proyek riset.
Kenapa harus ada perencanaan?
Tujuannya supaya benar-benar kita yang memanfaatkan waktu kita, agar waktu kita
tidak hanya orang lain yang mengendalikan. Setelah dilaksanakan, kita pun bisa
melihat progress nya. Apa yang sudah bisa kita lakukan dan apa yang
belum.
Di dalam surat Al-Hasyr ayat 18
pun dijelaskan mengenai perencanaan: "Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang
memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu
kerjakan."
2. Pikirkan ulang
niat dan tujuan dari apa yang akan kita lakukan.
Masih di ayat yang sama seperti
yang tersebut di atas, Rancangan untuk hari esok/ ghodan yang kita buat, baik
ibadah ritual atau ibadah aktivitas prospek akhirnya adalah akhirat. Jangan
salah niat dan tujuan. "Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu
kerjakan."
Kenapa harus sholat? Udah bener
belum ya sholatnya? Niatnya? Udah tepat waktu belum? Udah berefek kepada
tindakan sehari-hari kita belum? Udah bisa jaga shalat belum ya kita?
3. Konsentrasi
Kalau lagi belajar ya belajar,
kalau memang ada komunikasi yang mendesak ya no problem untuk disambi, tapi
jika bisa diselesaikan di awal atau di akhir jam belajar kenapa tidak. Begitu
juga dalam ranah yang lain.
4. Terus-terusan belajar
untuk memenej waktu
Kenapa saya bilang
terus-terusan? Karena kadang memenej waktu bagi sebagian orang yang tidak
terbiasa sulit. Ambil simpelnya aja. Dicoba sedikit-sedikit. Misalnya kita coba
menej jam ibadah dulu, terus jam di kampus, terus menej waktu untuk 1harian
nanti akan rapi sendiri.
5. Banyak baca
Mau tidak mau baca juga
penting. Basic melakukan sesuatu kita dapat dari membaca. Pun terkadang dengan
membaca, kita seolah diingatkan kembali esensi dari ibadah kita. Bertambah pula
pengetahuan kita tentang amal yang sama yang selama ini mungkin belum kita
dapatkan.Menjadi lebih baik lagi perspektif kita untuk melihat lebih dalam dan
luas.
6. Berhenti sejenak
Kadang perjalanan yang panjang
itu melelahkan. Tanpa sadar mungkin ada pergeseran tujuan dan niat. Kadang
kehilangan motivasi juga untuk terus bergerak. Berhenti sejenak mengajarkan
kita untuk menarik napas dalam dan mengamati apa yang selama ini sudah kita
lakukan. Sebuah momen yang perlu untuk tak sekedar bermuhasabah, tapi juga
menyusun kembali langkah-langkah yang mulai berserakan, memompa lagi semangat
yang mulai pudar dan lebih mematangkan lagi perencanaan2 yang masih dini atau
sudah setengah berjalan
Mau tidak mau, muslim maupun
non muslim sebetulnya semuanya dituntut untuk profesional dalam melakukan apa
pun. Tapi sangat disayangkan jika agama yang mulia ini sudah mengajarkan kita
untuk profesional dan ihsan dalam amal, kita tidak mau mencoba untuk
mengusahakannya.
Bahkan, Nabi Musa saja dalam
menyampaikan peringatan kepada Fir'aun perlu profesional dalam berbicara
meskipun Nabi Musa sendiri punya kekurangan dalam hal berbicara. Tetap tenang
dan jangan gamang. Kita punya do'a sebagai senjata agar diberi kemudahan. Lihatlah,
Nabi kita tersebut berdo'a kepada Allah sampai-sampai do'anya termaktub dalam
surat Thaha ayat 25-28
"Dia (Musa) berkata,
"Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku. dan mudahkanlah urusanku. dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku. agar mereka mengerti perkataanku."
Referensi dan inspirasi:
1.Al-Qur'an dan terjemahannya
2.Hadits arba'in An-Nawawi
dalam kitab Al-Wafi
3.Fiqh Prioritas -Sayyid Quthb
4.Menikmati Demokrasi -Anis
Matta
5.Pengantar Anis Matta dalam
buku Panduan Tadabbur dan Meraih Sukses dengan Al-Qur'an yang saya temukan dari
seorang teman di tumblr